BAB
I
PENDAHULUAN
Kesehatan
reproduksi seharusnya dipahami sebagai sehat fisik, psikologis, dan sosial.
Reproduksi menyentuh semua hal dalam tubuh pria dan wanita, dari mengenali
organ luar, menstruasi, sperma atau mani, seks, hingga kehamilan.
Ninuk
Widiantoro, psikolog dari Yayasan Kesehatan Perempuan, menyatakan bahwa
pemahaman yang utuh tentang kesehatan reproduksi belum ada di masyarakat,
bahkan negara. Padahal, menurutnya, kesehatan reproduksi mulai perlu
diperhatikan dari anak, remaja, hingga pasangan yang bersiap menikah.
"Pemeriksaan
kesehatan sebelum hubungan seks sangat penting. Tak perlu lagi sungkan untuk
menanyakan calon suami tentang kesehatannya. Calon mempelai perlu memeriksakan
kesehatan reproduksi, bukan hanya perempuan, melainkan juga pihak lelaki,"
papar Ninuk saat peluncuran Pundi Kesehatan di Ciganjur, Selasa (20/4/2010).
Memeriksakan
kesehatan reproduksi pasangan harus komprehensif dan bukan hanya fisik. Lantas
apa saja yang harus diperiksakan?
Kondisi fisik
Baik
perempuan maupun lelaki yang berencana menikah tak perlu sungkan meminta
pasangan untuk memeriksakan kondisi kesehatannya. Dalam hal ini terkait
pemeriksaan fisik, terutama organ reproduksinya.
Tujuan menikah
Mengenali
tujuan bersama dalam pernikahan termasuk dalam kesehatan yang bersifat
psikologis. Keadaan akan memburuk jika pernikahan tanpa ada sikap saling
menghargai, apalagi jika pihak perempuan tidak mendapat kesempatan menyuarakan
dirinya. Misalnya, dia belum siap menikah secara umur dan kematangan organ reproduksi.
"Kematian
ibu bukan hanya karena menikah dini, melainkan juga karena secara psikologis
ada tekanan dalam dirinya karena harus melayani suami yang tidak disukainya
karena jauh lebih tua atau sudah beristri, misalnya," papar Ninuk.
Kesiapan ekonomi dan social
Diskusi
soal ini dengan pasangan bukan sekadar ukuran materi, melainkan juga apakah
pasangan sudah siap memberikan kasih sayang kepada keluarganya nanti, termasuk
apakah kepribadiannya sudah matang untuk menikah dan berkeluarga.
Pemahaman peran perempuan dan lelaki
Perkawinan
sebaiknya menjadi pintu kebahagiaan, dan bukan pemaksaan, apalagi kekerasan.
Perlu ada kesepahaman antara perempuan dan lelaki tentang peran dan gaya
hidupnya. Perlu ada kesesuaian pandangan antara peran peran suami dan peran
istri sebagai ibu, pekerja, dan istri. Baik suami maupun istri bukan pemaksa
atau pelaku kekerasan. Berbagai referensi bisa dijadikan bahan diskusi untuk dikomunikasikan
dengan pasangan.
Seksualitas
Kekerasan seksualitas terjadi saat adanya pemaksaan dari pihak lain. Jika suami atau istri sedang tak bergairah, maka pihak mana pun tidak berhak menuntut untuk dilayani. Seks harus didahului hal-hal yang manis. Kita tidak boleh langsung meminta suami atau istri memenuhi hasrat libido kita. Ketika secara psikologis istri tidak siap, misalnya, itu berarti organ reproduksi juga belum siap menerima kegiatan seks. Jika hal ini terjadi pada pasangan yang menikah dini (perempuan di bawah umur), maka yang terjadi adalah perkosaan dan bukan hubungan seks sehat yang dilakukan pasangan menikah.
Kekerasan seksualitas terjadi saat adanya pemaksaan dari pihak lain. Jika suami atau istri sedang tak bergairah, maka pihak mana pun tidak berhak menuntut untuk dilayani. Seks harus didahului hal-hal yang manis. Kita tidak boleh langsung meminta suami atau istri memenuhi hasrat libido kita. Ketika secara psikologis istri tidak siap, misalnya, itu berarti organ reproduksi juga belum siap menerima kegiatan seks. Jika hal ini terjadi pada pasangan yang menikah dini (perempuan di bawah umur), maka yang terjadi adalah perkosaan dan bukan hubungan seks sehat yang dilakukan pasangan menikah.
BAB
II
Kesehatan
Reproduksi
- Kesehatan yang berkaitan dengan menghasilkan keturunan
- Kesehatan reproduksi meliputi keadaan sehat jasmani
Pengertian Kesehatan Reproduksi
menurut Konferensi Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) tahun 1994 di Kairo,
Mesir : yaitu "Kondisi utuh sehat sejahtera fisik, mental dan sosial,
tidak hanya bebas penyakit atau kecacatan, dalam sistem, fungsi, dan proses
reproduksi".
Kesehatan Seksual
Kesehatan Seksual
Menurut WHO, Kesehatan Seksual adalah "Kombinasi dari bagian kegiatan seksual yang bersifat fisik, emosional, intelektual dan sosial, sehingga seks adalah pengalaman positif yang dapat meningkatkan kualitas hidup, menjadikan lingkungan kita lebih baik untuk kehidupan.
Berdasarkan hasil Deklarasi Montreal 2005 tentang Kesehatan Seksual untuk MDGs, lebih menekankan kepada beberapa hal sebagai berikut :
- Mengakui, mempromosikan, meyakinkan dan melindungi hak-hak seksual bagi semua
- Berkembang ke arah kesetaraan jender
- Menghapuskan semua jenis kekerasan dan pelecehan seksual
- Memberikan akses universal unutk pendidikan dan informasi tentang seksualitas yang menyeluruh
- Menjamin bahwa program - program kesehatan reproduktif mengakui betapa pentingnya kesehatan seksual
- Menghentikan dan mengendalikan penyebaran HIV dan AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS) lainnya
- Mengidentifikasi, menangani dan mengatasi keluhan disfungsi dan gangguan seksual
- Mendapatkan pengakuanbahwa kenikmatan seksual merupan salah satu unsur kesejahteraan menusia
Masalah - Masalah Kesehatan
Reproduksi dan Kesehatan Seksual
- Disfungasi Seksual
- Parafilia
- Perilaku Seksual Kompulsif
- Kekerasan Seksual
- Permasalahan Reproduksi
1.
Pengertian Disfungsi Seksual
a)
Definisi Disfungsi Seksual
Istilah
disfungsi seksual menunjukkan adanya gangguan pada salah satu atau lebih aspek
fungsi seksual (Pangkahila, 2006). Bila didefinisikan secara luas, disfungsi
seksual adalah ketidakmampuan untuk menikmati secara penuh hubungan seks.
Secara khusus, disfungsi seksual adalah gangguan yang terjadi pada salah satu
atau lebih dari keseluruhan siklus respons seksual yang normal (Elvira, 2006).
Sehingga disfungsi seksual dapat terjadi apabila ada gangguan dari salah satu
saja siklus respon seksual.
b)
Siklus respon seksual (Kolodny, Master, Johnson, 1979)
1)
Fase Perangsangan (Excitement Phase)
Perangsangan
terjadi sebagai hasil dari pacuan yang dapat berbentuk fisik atau psikis.
Kadang fase perangsangan ini berlangsung singkat, segera masuk ke fase plateau.
pada saat yang lain terjadi lambat dan berlangsung bertahap memerlukan waktu
yang lebih lama.
Pemacu
dapat berasal dari rangsangan erotik maupun non erotik, seperti
pandangan, suara, bau, lamunan, pikiran, dan mimpi.
2)
Fase Plateau
Pada
fase ini, bangkitan seksual mencapai derajat tertinggi yaitu sebelum mencapai
ambang batas yang diperlukan untuk terjadinya orgasme.
3)
Fase Orgasme
Orgasme
adalah perasaan kepuasan seks yang bersifat fisik dan psikologik dalam
aktivitas seks sebagai akibat pelepasan memuncaknya ketegangan seksual (sexual
tension) setelah terjadi fase rangsangan yang memuncak pada fase plateau.
4)
Fase Resolusi
Pada
fase ini perubahan anatomik dan faal alat kelamin dan luar alat kelamin yang
telah terjadi akan kembali ke keadaan asal.
Sehingga
adanya hambatan atau gangguan pada salah satu siklus respon seksual diatas
dapat menyebabkan terjadinya disfungsi seksual.
2.
Etiologi Disfungsi Seksual
Pada
dasarnya disfungsi seksual dapat terjadi baik pada pria ataupun wanita,
etiologi disfungsi seksual dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
a)
Faktor fisik
Gangguan
organik atau fisik dapat terjadi pada organ, bagian-bagian badan tertentu atau
fisik secara umum. Bagian tubuh yang sedang terganggu dapat menyebabkan
disfungsi seksual dalam berbagai tingkat (Tobing, 2006).
Faktor
fisik yang sering mengganggu seks pada usia tua sebagian karena
penyakit-penyakit kronis yang tidak jelas terasa atau tidak diketahui gejalanya
dari luar. Makin tua usia makin banyak orang yang gagal melakukan koitus atau
senggama (Tobing, 2006). Kadang-kadang penderita merasakannya sebagai gangguan
ringan yang tidak perlu diperiksakan dan sering tidak disadari (Raymond Rosen.,
et al, 1998).
Dalam
Product Monograph Levitra (2003) menyebutkan berbagai faktor resiko untuk
menderita disfungsi seksual sebagai berikut:
1)
Gangguan vaskuler pembuluh darah, misalnya gangguan arteri koronaria.
2)
Penyakit sistemik, antara lain diabetes melitus, hipertensi (HTN),
hiperlipidemia (kelebihan lemak darah).
3)
Gangguan neurologis seperti pada penyakit stroke, multiple sklerosis.
4)
Faktor neurogen yakni kerusakan sumsum belakang dan kerusakan saraf.
5)
Gangguan hormonal, menurunnya testosteron dalam darah (hipogonadisme) dan
hiperprolaktinemia.
6)
Gangguan anatomi penis seperti penyakit peyronie (penis bengkok).
7)
Faktor lain seperti prostatektomi, merokok, alkohol, dan obesitas.
Beberapa
obat-obatan anti depresan dan psikotropika menurut penelitian juaga dapat
mengakibatkan terjadinya disfungsi seksual, antara lain: barbiturat,
benzodiazepin, selective serotonin seuptake inhibitors (SSRI), lithium,
tricyclic antidepressant (Tobing, 2006).
b)
Faktor psikis
Faktor
psikoseksual ialah semua faktor kejiwaan yang terganggu dalam diri penderita.
Gangguan ini mencakup gangguan jiwa misalnya depresi, anxietas
(kecemasan) yang menyebabkan disfungsi seksual. Pada orang yang masih muda,
sebagian besar disfungsi seksual disebabkan faktor psikoseksual. Kondisi fisik
terutama organ-organnya masih kuat dan normal sehingga jarang sekali
menyebabkan terjadinya disfungsi seksual (Tobing, 2006).
Tetapi
apapun etiologinya, penderita akan mengalami problema psikis, yang selanjutnya
akan memperburuk fungsi seksualnya. Disfungsi seksual pria yang dapat
menimbulkan disfungsi seksual pada wanita juga ( Abdelmassih, 1992, Basson, R,
et al., 2000).
Masalah
psikis meliputi perasaan bersalah, trauma hubungan seksual, kurangnya
pengetahuan tentang seks, dan keluarga tidak harmonis (Susilo, 1994,
Pangkahila, 2001, 2006, Richard, 1992).
3.
Macam-Macam Disfungsi Seksual
a)
Gangguan Dorongan Seksual (GDS)
1)
Pengertian
Dorongan
seksual dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu hormon testosteron, kesehatan
tubuh, faktor psikis dan pengalaman seksual sebelumnya. Jika di antara faktor
tersebut ada yang menghambat atau faktor tersebut terganggu, maka akan terjadi
GDS (Pangkahila, 2007), berupa:
(a)
Dorongan seksual hipoaktif
The
Diagnostic and Statistical Manual-IV
memberi definisi dorongan seksual hipoaktif ialah berkurangnya atau hilangnya
fantasi seksual dan dorongan secara persisten atau berulang yang menyebabkan
gangguan yang nyata atau kesulitan interpersonal.
(b)
Gangguan eversi seksual
Timbul
perasaaan takut pada semua bentuk aktivitas seksual sehingga menimbulkan
gangguan.
2)
Prevalensi dan manifestasi
Diduga
lebih dari 15 persen pria dewasa mengalami dorongan seksual hipoaktif. Pada
usia 40-60 tahun, dorongan seksual hipoaktif merupakan keluhan terbanyak. Pada
dasarnya GDS disebabkan oleh faktor fisik dan psikis, antara lain adalah
kejemuan, perasaan bersalah, stres yang berkepanjangan, dan pengalaman seksual
yang tidak menyenangkan (Pangkahila, 2006).
b)
Gangguan ereksi
1)
Disfungsi ereksi
(a)
Pengertian
Disfungsi
ereksi (DE) berarti ketidakmampuan mencapai atau mempertahankan ereksi penis
yang cukup untuk melakukan hubungan seksual dengan baik (Pangkahila, 2007).
Disfungsi
ereksi disebut primer bila sejak semula ereksi yang cukup unutuk melakukan
hubungan seksual tidak pernah tercapai. Sedang disfungsi ereksi sekunder
berarti sebelumnya pernah berhasil melakukan hubungan seksual, tetapi kemudian
gagal karena sesuatu sebab yang mengganggu ereksinya (Pangkahila, 2006).
(b)
Penyebab dan manifestasi
Pada
dasarnya DE dapat disebabkan oleh faktor fisik dan faktor psikis. Penyebab
fisik dapat dikelompokkan menjadi faktor hormonal, faktor vaskulogenik, faktor
neurogenik, dan faktor iatrogenik (Pangkahila, 2007).
Faktor
psikis meliputi semua faktor yang menghambat reaksi seksual terhadap rangsangan
seksual yang diterima. Walaupun penyebab dasarnya adalah faktor fisik, faktor
psikis hampir selalu muncul dan menyertainya (Pangkahila, 2007).
c)
Gangguan ejakulasi (Pangkahila, 2007)
1)
Ejakulasi dini
(a)
Pengertian
Ada
beberapa pengertian mengenai ejakulsi dini (ED). ED merupakan ketidakmampuan
mengontrol ejakulasi sampai pasangannnya mencapai orgasme, paling sedikit 50
persen dari kesempatan melakukan hubungan seksual. Berdasarkan waktu, ada yang
mengatakan penis yang mengalami ED bila ejakulasi terjadi dalam waktu kurang
dari 1-10 menit.
Untuk
menentukan seorang pria mengalami ED harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
ejakulasi terjadi dalam waktu cepat, tidak dapat dikontrol, tidak dikehendaki
oleh yang bersangkutan, serta mengganggu yang bersangkutan dan atau pasangannya
(Pangkahila, 2007).
(b)
Prevalensi dan manifestasi
ED
merupakan disfungsi seksual terbanyak yang dijumpai di klinik, melampaui DE. Survei
epidemiologi di AS menunjukkan sekitar 30 persen pria mengalami ED.
Ada
beberapa teori penyebab ED, yang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
penyebab psikis dan penyebab fisik. Penyebab fisik berkaitan dengan serotonin.
Pria dengan 5-HT rendah mempunyai ejaculatory threshold yang rendah
sehingga cepat mengalami ejakulasi. Penyebab psikis ialah kebiasaan ingin
mencapai orgasme dan ejakulasi secara tergesa-gesa sehingga terjadinya ED
(Pangkahila, 2006).
2)
Ejakulasi terhambat
(a)
Pengertian
Berlawanan
dengan ED, maka pria yang mengalami ejakulasi terhambat (ET) justru tidak dapat
mengalami ejakulasi di dalam vagina. Tetapi pada umumnya pria dengan ET dapat
mengalami ejakulasi dengan cara lain, misalnya masturbasi dan oral seks, tetapi
sebagian tetap tidak dapat mencapai ejakulasi dengan cara apapun.
(b)
Prevalensi dan manifestasi
Dalam
10 tahun terakhir ini hanya 4 pasien datang dengan keluhan ET. Sebagian besar
ET disebabkan oleh faktor psikis, misalnya fanatisme agama sejak masa kecil
yang menganggap kelamin wanita adalah sesuatu yang kotor, takut terjadi
kehamilan, dan trauma psikoseksual yang pernah dialami.
d)
Disfungsi orgasme (Pangkahila, 2007)
1)
Pengertian
Disfungsi
orgasme adalah terhambatnya atau tidak tercapainya orgasme yang bersifat
persisten atau berulang setelah memasuki fase rangsangan (excitement phase)
selama melakukan aktivitas seksual.
2)
Penyebab dan manifestasi
Hambatan
orgasme dapat disebabkan oleh penyebab fisik yaitu penyakit SSP seperti
multiple sklerosis, parkinson, dan lumbal sympathectomy. Penyebab psikis
yaitu kecemasan, perasaan takut menghamili, dan kejemuan terhadap pasangan.
Pria yang mengalami hambatan orgasme tetap dapat ereksi dan ejakulasi, tapi
sensasi erotiknya tidak dirasakan.
e)
Dispareunia (Pangkahila, 2007)
1)
Pengertian
Dispareunia
berarti hubungan seksual yang menimbulkan rasa sakit pada kelamin atau sekitar
kelamin.
2)
Penyebab dan manifestasi
Salah
satu penyebab dispareunia ini adalah infeksi pada kelamin. Ini berarti terjadi
penularan infeksi melalui hubungan seksual yang terasa sakit itu. Pada
pria, dispareunia hampir pasti disebabkan oleh penyakit atau gangguan
fisik berupa peradangan atau infeksi pada penis, buah pelir, saluran kencing,
atau kelenjar prostat dan kelenjar kelamin lainnya.
4.
Terapi dan Pengobatan Disfungsi Seksual
Disfungsi
seksual baik yang terjadi pada pria ataupun wanita dapat dapat mengganggu
keharmonisan kehidupan seksual dan kualitas hidup, oleh karena itu perlu
penatalaksanaan yang baik dan ilmiah.
Prinsip
penatalaksanaan dari disfungsi seksual pada pria dan wanita adalah sebagai
berikut (Susilo, 1994; Pangkahila, 2001; Richardson, 1991):
a)
Membuat diagnosa dari disfungsi seksual
b)
Mencari etiologi dari disfungsi seksual tersebut
c)
Pengobatan sesuai dengan etiologi disfungsi seksual
d)
Pengobatan untuk memulihkan fungsi seksual, yang terdiri dari pengobatan bedah
dan pengobatan non bedah (konseling seksual dan sex theraphy,
obat-obatan, alat bantu seks, serta pelatihan jasmani).
Pada
kenyataannya tidak mudah untuk mendiagnosa masalah disfungsi seksual. Diantara
yang paling sering terjadi adalah pasien tidak dapat mengutarakan masalahnya
semua kepada dokter, serta perbedaan persepsi antara pasien dan dokter terhadap
apa yang diceritakan pasien. Banyak pasien dengan disfungsi seksual membutuhkan
konseling seksual dan terapi, tetapi hanya sedikit yang peduli (Philips, 2000).
Oleh
karena masalah disfungsi seksual melibatkan kedua belah pihak yaitu pria dan
wanita, dimana masalah disfungsi seksual pada pria dapat menimbulkan disfungsi
seksual ataupun stres pada wanita, begitu juga sebaliknya, maka perlu dilakukan
dual sex theraphy. Baik itu dilakukan sendiri oleh seorang dokter
ataupun dua orang dokter dengan wawancara keluhan terpisah (Barry, Hodges,
1987).
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terapi atau penanganan disfungsi seksual
pada kenyataanya tidak mudah dilakukan, sehingga diperlukan diagnosa yang
holistik untuk mengetahui secara tepat etiologi dari disfungsi seksual yang
terjadi, sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan yang tepat pula.
Parafilia
b.Pengertian
Kaplan (2002) mengatakan parafilia adalah gangguan seksual
yang ditandai oleh khayalan seksual yang khusus dan desakan serta praktek
seksual yang kuat, biasanya berulang kali dan menakutkan. Parafilia mengacu
pada sekelompok gangguan yang melibatkan ketertarikan seksual terhadap obyek
yang tidak biasa atau aktifitas seksual yang tidak biasa (Davidson dan Neale
dalam Fausiah, 2003).
c.Ciri (Nevid, 2002) :
Orang akan menunjukkan keterangsangan seksual sebagai respon
yang tidak biasa. Menurut DSM IV parafilia melibatkan dorongan dan fantasi
seksual yang berulang dan kuat, bertahan selama enam bulan yang berpusat pada
objek, perasaan merendahkan atau menyakiti diri atau pasangannya, atau anak-anak
dan orang lain yang tidak dapat atau tidak mampu memberikan persetujuan.
d.Jenis-jenis (Fausiah, 2003) :
1.fetihisme
fetihisme
adalah ketergantungan seseorang pada objek tidak hidup untuk memperoleh
rangsangan seksual. Perilaku yang ditampakkan tidak dibuat dan tidak dapat
ditahan.
2.transvestic
fetihisme
laki-laki
terangsang secara seksual dengan menggunakan pakaian atau atribut wanita.
3.pedofilia
kepuasan
seksual melalui kontak fisik dan seksual dengan anak pra pubertas.
4.inses
hubungan
seksual dalam satu keluarga.
5.veyeurism
kepuasan
melihat orang tanpa busana.
6.eksibision
mempertunjukkan
kelaminnya pada orang lain.
7.fretteurism
menyentuh,
menggosokkan alat kelamin pada paha, pantat perempuan, memegang payudara atau
alat kelamin perempuan.
8.sadisme
kegemaran
memperoleh kepuasan seksual dengan menimbulkan kesakitan pasangannya baik
fisik, maupun psikologis.
e.Faktor penyebab (Kaplan, 2002) :
1.psikososial,
2.organik,
f.Penanganan (Fausiah, 2003) :
1.pendekatan
psikoanalitik,
2.pendekatan
behavioral,
3.pendekatan
kognitif,
4.pendekatan
bilogis
Perilaku Seksual Kompulsif ?
Perilaku seksual kompulsif adalah pengulangan
tindakan erotik tanpa kenikmatan.
Apakah kompulsi seksual berupa telepon seks tanpa
akhir, one night stand (affair singkat) atau bermasturbasi beberapa kali dalam
sehari, penderitanya seringkali melaporkan perasaan “tidak terkendali” sebelum
aktivitas dan perasaan bersalah atau malu setelahnya.
Apapun kepuasan seksual yang dialami seseorang
dari tindakan tersebut adalah dangkal dan hambar.
Dalam tahun tahun belakangan ini, konsep “adiksi
seks” menjadi masalah yang diperdebatkan dalam terapi seks.
Pendukung teori menyatakan bahwa sebagian
orang-yang mungkin dahulu disebut “womanizer”, “rakes” atau “sluts”-bukan saja
berkelakuan secara kompulsif tetapi juga ketagihan terhadap seks karena mereka
tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan dorongan seksualnya dan akan
menempatkan mereka dalam resiko atau akibat.
Pusat terapi dan kelompok self help berdasarkan
pada konsep Alcoholic Anonymous telah tumbuh menjamur untuk menghadapi
disfungsi masyarakat Barat.
Tetapi teori adiksi seks memiliki lebih banyak
penentang dalam komunitas profesional dibandingkan pendukungnya.
Kekerasan seksual
Kekerasan seksual
adalah kekerasan yang terjadi karena persoalan seksualitas. Ibarat awan
dan hujan, demikianlah hubungan antar seks dan kekerasan. Di mana terdapat seks
maka kekerasan hampir selalu dilahirkan. Termasuk dalam kekerasan seksual
adalah perkosaan, pelecehan seksual (penghinaan dan perendahan terhadap lawan
jenis), penjualan anak perempuan untuk prostitusi, dan kekerasan oleh pasangan.
Perkosaan. Perkosaan adalah jenis
kekerasan yang paling mendapat sorotan. Diperkirakan 22% perempuan dan 2%
laki-laki pernah menjadi korban perkosaan. Untuk di Amerika saja, setiap 2
menit terjadi satu orang diperkosa. Hanya 1 dari 6 perkosaan yang dilaporkan ke
polisi. Sebagian besar perkosaan dilakukan oleh orang yang mengenal korban
alias orang dekat korban.
Kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Suatu tinjauan baru-baru ini terhadap 17 studi dari seluruh dunia menunjukkan
bahwa di manapun, sekitar 11% sampai dengan 32% perempuan dilaporkan mendapat
perlakuan atau mengalami kekerasan seksual pada masa kanak-kanaknya. Umumnya
pelaku kekerasan adalah anggota keluarga, orang-orang yang memiliki hubungan
dekat, atau teman. Mereka yang menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak
biasanya adalah korban kekerasan seksual pada masa kanak-kanak.
Kekerasan seksual terhadap pasangan.
Kekerasan ini mencakup segala jenis kekerasan seksual yang dilakukan seseorang
terhadap pasangan seksualnya. Sebesar 95% korban kekerasan adalah perempuan.
Temuan penelitian yang dilakukan Rifka Annisa bersama UGM, UMEA University, dan
Women’s Health Exchange USA di Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia, pada tahun
2000 menunjukkan bahwa 22% perempuan mengalami kekerasan seksual. Sejumlah 1
dari 5 perempuan (19%) melaporkan bahwa biasanya mereka dipaksa untuk melakukan
hubungan seksual dengan pasangan mereka selama dipukuli. Termasuk kekerasan
seksual adalah kekerasan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang
perempuan, semata-mata karena sang korban adalah perempuan. Istilah untuk ini
adalah kekerasan berbasis gender. Berikut adalah kekerasan berbasis gender:
- Kekerasan fisik : Menampar, memukul, menendang, mendorong, mencambuk, dll.
- Kekerasan emosional/ verbal: Mengkritik, membuat pasangan merasa bersalah, membuat permainan pikiran, memaki, menghina, dll.
- Ketergantungan finansial: Mencegah pasangan untuk mendapat pekerjaan, membuat pasangan dipecat, membuat pasangan meminta uang, dll
- Isolasi sosial: Mengontrol pasangan dengan siapa boleh bertemu dan di mana bisa bertemu, membatasi gerak pasangan dalam pergaulan, dll
- Kekerasan seksual: Memaksa seks, berselingkuh, sadomasokisme, dll.
- Pengabaian/penolakan: Mengatakan kekerasan tidak pernah terjadi, menyalahkan pasangan bila kekerasan terjadi, dll.
- Koersi, ancaman, intimidasi: Membuat pasangan khawatir, memecahkan benda-benda, mengancam akan meninggalkan, dll
Permasalahan
Reproduksi
Kesehatan merupakan hal yang tidak ternilai harganya bagi semua
kalangan masyarakat di dunia. Begitu juga di Indonesia, kesehatan adalah hal
yang terpenting. Perempuan yang mempunyai peran penting harus bisa menjaga
kesehatannya. Sistem reproduksi perempuan sangat mempengaruhi bagaimana
kesehatan anak yang di kandung dan dilahirkan nanti.
Seorang perempuan mempunyai tugas untuk melahirkan anak-anak
yang akan meneruskan kehidupan ini. Perempuan yang sempurna di nilai dari
kemampuannya untuk melahirkan keturunan. Semua itu berhubungan dengan
sistem reproduksi perempuan itu sendiri. Sistem reproduksi merupakan daerah
sensitif bagi seorang perempuan. Menjaga kesehatan reproduksi itu bukanlah hal
yang mudah. Hal tersebut terbukti dengan adanya masalah yang berhubungan dengan
sistem reproduksi perempuan.
Di Indonesia sendiri reproduksi merupakan salah satu masalah yang diderita oleh
perempuan. Banyak perempuan yang tidak bisa melakukan proses reproduksi secara
normal karena beberapa faktor. Faktor gen merupakan salah satu penyebab yang
dapat membuat seorang perempuan mengalami gangguan reproduksi. Kelainan gen
dari kedua orang tua dapat mempengaruhi kelainan masalah reproduksi pada
perempuan.
Beberapa masalah sistem reproduksi yang sering dihadapi oleh seorang perempuan
adalah kemandulan, kanker serviks, keputihan berlebihan yang dapat menimbulkan
bau tidak sedap pada organ kewanitaan, jengger ayam, dan lain sebagainya.
Agar tidak menderita penyakit tersebut ada baiknya kita melakukan pencegahan.
Untuk mencegahnya bisa dilakukan dengan menjaga kebersihan diri sendiri.
Dimulai dengan menjaga kebersihan organ kewanitaan. Selain itu saat
membersihkan organ intim harus menggunakan air yang mengalir dan terbebas dari
kuman. Pepatah mengatakan “lebih baik mencegah dari pada mengobati”, untuk itu
lakukan pencegahan dari sejak dini supaya kesehatan sistem reproduksi terjaga.
DAFTAR PUSTAKA