BAB I
PENDAHULUAN
Kesehatan reproduksi seharusnya dipahami sebagai sehat
fisik, psikologis, dan sosial. Reproduksi menyentuh semua hal dalam tubuh pria
dan wanita, dari mengenali organ luar, menstruasi, sperma atau mani, seks,
hingga kehamilan.
Ninuk Widiantoro, psikolog dari Yayasan Kesehatan Perempuan,
menyatakan bahwa pemahaman yang utuh tentang kesehatan reproduksi belum ada di
masyarakat, bahkan negara. Padahal, menurutnya, kesehatan reproduksi mulai
perlu diperhatikan dari anak, remaja, hingga pasangan yang bersiap menikah.
Pemeriksaan kesehatan sebelum hubungan seks sangat penting.
Tak perlu lagi sungkan untuk menanyakan calon suami tentang kesehatannya. Calon
mempelai perlu memeriksakan kesehatan reproduksi, bukan hanya perempuan,
melainkan juga pihak lelaki," papar Ninuk saat peluncuran Pundi Kesehatan
di Ciganjur, Selasa (20/4/2010).
Memeriksakan kesehatan reproduksi pasangan harus
komprehensif dan bukan hanya fisik. Lantas apa saja yang harus diperiksakan?
Kondisi fisik
Baik perempuan maupun lelaki yang berencana menikah tak
perlu sungkan meminta pasangan untuk memeriksakan kondisi kesehatannya. Dalam
hal ini terkait pemeriksaan fisik, terutama organ reproduksinya.
Tujuan menikah
Mengenali tujuan bersama dalam pernikahan termasuk dalam
kesehatan yang bersifat psikologis. Keadaan akan memburuk jika pernikahan tanpa
ada sikap saling menghargai, apalagi jika pihak perempuan tidak mendapat
kesempatan menyuarakan dirinya. Misalnya, dia belum siap menikah secara umur
dan kematangan organ reproduksi.
"Kematian ibu bukan hanya karena menikah dini,
melainkan juga karena secara psikologis ada tekanan dalam dirinya karena harus
melayani suami yang tidak disukainya karena jauh lebih tua atau sudah beristri,
misalnya," papar Ninuk.
Kesiapan ekonomi dan social
Diskusi soal ini dengan pasangan bukan sekadar ukuran
materi, melainkan juga apakah pasangan sudah siap memberikan kasih sayang
kepada keluarganya nanti, termasuk apakah kepribadiannya sudah matang untuk
menikah dan berkeluarga.
Pemahaman peran perempuan dan
lelaki
Perkawinan sebaiknya menjadi pintu kebahagiaan, dan bukan
pemaksaan, apalagi kekerasan. Perlu ada kesepahaman antara perempuan dan lelaki
tentang peran dan gaya hidupnya. Perlu ada kesesuaian pandangan antara peran
peran suami dan peran istri sebagai ibu, pekerja, dan istri. Baik suami maupun
istri bukan pemaksa atau pelaku kekerasan. Berbagai referensi bisa dijadikan
bahan diskusi untuk dikomunikasikan dengan pasangan.
Seksualitas
Kekerasan seksualitas terjadi saat adanya pemaksaan dari
pihak lain. Jika suami atau istri sedang tak bergairah, maka pihak mana pun
tidak berhak menuntut untuk dilayani. Seks harus didahului hal-hal yang manis.
Kita tidak boleh langsung meminta suami atau istri memenuhi hasrat libido kita.
Ketika secara psikologis istri tidak siap, misalnya, itu berarti organ
reproduksi juga belum siap menerima kegiatan seks. Jika hal ini terjadi pada
pasangan yang menikah dini (perempuan di bawah umur), maka yang terjadi adalah
perkosaan dan bukan hubungan seks sehat yang dilakukan pasangan menikah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kesehatan Reproduksi adalah
·
Kesehatan
yang berkaitan dengan menghasilkan keturunan
·
Kesehatan
reproduksi meliputi keadaan sehat jasmani
Pengertian Kesehatan Reproduksi menurut Konferensi
Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) tahun 1994 di Kairo, Mesir : yaitu
"Kondisi utuh sehat sejahtera fisik, mental dan sosial, tidak hanya bebas
penyakit atau kecacatan, dalam sistem, fungsi, dan proses reproduksi".
Aktivitas
seksual
adalah kebutuhan biologis yang diperlukan
oleh setiap manusia untuk meneruskan keturunannya.
Menurut WHO, Kesehatan Seksual adalah "Kombinasi dari bagian
kegiatan seksual yang bersifat fisik, emosional, intelektual dan sosial,
sehingga seks adalah pengalaman positif yang dapat meningkatkan kualitas hidup,
menjadikan lingkungan kita lebih baik untuk kehidupan.
Berdasarkan hasil Deklarasi Montreal 2005 tentang Kesehatan
Seksual untuk MDGs, lebih menekankan kepada beberapa hal sebagai berikut :
·
Mengakui,
mempromosikan, meyakinkan dan melindungi hak-hak seksual bagi semua
·
Berkembang
ke arah kesetaraan jender
·
Menghapuskan
semua jenis kekerasan dan pelecehan seksual
·
Memberikan
akses universal unutk pendidikan dan informasi tentang seksualitas yang
menyeluruh
·
Menjamin
bahwa program - program kesehatan reproduktif mengakui betapa pentingnya
kesehatan seksual
·
Menghentikan
dan mengendalikan penyebaran HIV dan AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS)
lainnya
·
Mengidentifikasi,
menangani dan mengatasi keluhan disfungsi dan gangguan seksual
·
Mendapatkan
pengakuanbahwa kenikmatan seksual merupan salah satu unsur kesejahteraan manusia
Masalah - Masalah Kesehatan Reproduksi dan Kesehatan Seksual
1.
Disfungsi
Seksual
2.
Parafilia
3.
Perilaku
Seksual Kompulsif
4.
Kekerasan
Seksual
5.
Permasalahan
Reproduksi
1.Definisi Disfungsi Seksual
Istilah disfungsi seksual menunjukkan adanya gangguan pada
salah satu atau lebih aspek fungsi seksual (Pangkahila, 2006). Bila
didefinisikan secara luas, disfungsi seksual adalah ketidakmampuan untuk
menikmati secara penuh hubungan seks. Secara khusus, disfungsi seksual adalah
gangguan yang terjadi pada salah satu atau lebih dari keseluruhan siklus
respons seksual yang normal (Elvira, 2006). Sehingga disfungsi seksual dapat
terjadi apabila ada gangguan dari salah satu saja siklus respon seksual.
b) Siklus respon seksual (Kolodny, Master, Johnson, 1979)
1) Fase Perangsangan (Excitement Phase)
Perangsangan terjadi sebagai hasil dari pacuan yang dapat
berbentuk fisik atau psikis. Kadang fase perangsangan ini berlangsung singkat, segera
masuk ke fase plateau. pada saat yang lain terjadi lambat dan berlangsung
bertahap memerlukan waktu yang lebih lama.
Pemacu dapat berasal dari rangsangan erotik maupun non
erotik, seperti pandangan, suara, bau, lamunan, pikiran, dan mimpi.
2) Fase Plateau
Pada fase ini, bangkitan seksual mencapai derajat tertinggi
yaitu sebelum mencapai ambang batas yang diperlukan untuk terjadinya orgasme.
3) Fase Orgasme
Orgasme adalah perasaan kepuasan seks yang bersifat fisik
dan psikologik dalam aktivitas seks sebagai akibat pelepasan memuncaknya
ketegangan seksual (sexual tension) setelah terjadi fase rangsangan yang
memuncak pada fase plateau.
4) Fase Resolusi
Pada fase ini perubahan anatomik dan faal alat kelamin dan
luar alat kelamin yang telah terjadi akan kembali ke keadaan asal.
Sehingga adanya hambatan atau gangguan pada salah satu
siklus respon seksual diatas dapat menyebabkan terjadinya disfungsi seksual.
2.Etiologi
Disfungsi Seksual
Pada dasarnya disfungsi seksual dapat terjadi baik pada pria
ataupun wanita, etiologi disfungsi seksual dapat dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu:
a) Faktor fisik
Gangguan organik atau fisik dapat terjadi pada organ,
bagian-bagian badan tertentu atau fisik secara umum. Bagian tubuh yang sedang
terganggu dapat menyebabkan disfungsi seksual dalam berbagai tingkat (Tobing,
2006).
Faktor fisik yang sering mengganggu seks pada usia tua
sebagian karena penyakit-penyakit kronis yang tidak jelas terasa atau tidak
diketahui gejalanya dari luar. Makin tua usia makin banyak orang yang gagal
melakukan koitus atau senggama (Tobing, 2006). Kadang-kadang penderita
merasakannya sebagai gangguan ringan yang tidak perlu diperiksakan dan sering
tidak disadari (Raymond Rosen., et al, 1998).
Dalam Product Monograph Levitra (2003) menyebutkan berbagai
faktor resiko untuk menderita disfungsi seksual sebagai berikut:
1) Gangguan vaskuler pembuluh darah, misalnya gangguan
arteri koronaria.
2) Penyakit sistemik, antara lain diabetes melitus,
hipertensi (HTN), hiperlipidemia (kelebihan lemak darah).
3) Gangguan neurologis seperti pada penyakit stroke,
multiple sklerosis.
4) Faktor neurogen yakni kerusakan sumsum belakang dan
kerusakan saraf.
5) Gangguan hormonal, menurunnya testosteron dalam darah
(hipogonadisme) dan hiperprolaktinemia.
6) Gangguan anatomi penis seperti penyakit peyronie (penis
bengkok).
7) Faktor lain seperti prostatektomi, merokok, alkohol, dan
obesitas.
Beberapa obat-obatan anti depresan dan psikotropika menurut
penelitian juaga dapat mengakibatkan terjadinya disfungsi seksual, antara lain:
barbiturat, benzodiazepin, selective serotonin seuptake inhibitors
(SSRI), lithium, tricyclic antidepressant (Tobing, 2006).
b) Faktor psikis
Faktor psikoseksual ialah semua faktor kejiwaan yang
terganggu dalam diri penderita. Gangguan ini mencakup gangguan jiwa misalnya
depresi, anxietas (kecemasan) yang menyebabkan disfungsi seksual. Pada
orang yang masih muda, sebagian besar disfungsi seksual disebabkan faktor
psikoseksual. Kondisi fisik terutama organ-organnya masih kuat dan normal
sehingga jarang sekali menyebabkan terjadinya disfungsi seksual (Tobing, 2006).
Tetapi apapun etiologinya, penderita akan mengalami problema
psikis, yang selanjutnya akan memperburuk fungsi seksualnya. Disfungsi seksual
pria yang dapat menimbulkan disfungsi seksual pada wanita juga ( Abdelmassih,
1992, Basson, R, et al., 2000).
Masalah psikis meliputi perasaan bersalah, trauma hubungan
seksual, kurangnya pengetahuan tentang seks, dan keluarga tidak harmonis
(Susilo, 1994, Pangkahila, 2001, 2006, Richard, 1992).
III. Macam-Macam Disfungsi Seksual
a) Gangguan Dorongan Seksual (GDS)
(a) Dorongan seksual
hipoaktif
The Diagnostic and Statistical
Manual-IV memberi
definisi dorongan seksual hipoaktif ialah berkurangnya atau hilangnya fantasi
seksual dan dorongan secara persisten atau berulang yang menyebabkan gangguan
yang nyata atau kesulitan interpersonal.
(b) Gangguan eversi seksual
Timbul perasaaan takut pada semua bentuk aktivitas seksual
sehingga menimbulkan gangguan.
2) Prevalensi dan manifestasi
Diduga lebih dari 15 persen pria dewasa mengalami dorongan
seksual hipoaktif. Pada usia 40-60 tahun, dorongan seksual hipoaktif merupakan
keluhan terbanyak. Pada dasarnya GDS disebabkan oleh faktor fisik dan psikis,
antara lain adalah kejemuan, perasaan bersalah, stres yang berkepanjangan, dan
pengalaman seksual yang tidak menyenangkan (Pangkahila, 2006).
b) Gangguan ereksi
1) Disfungsi ereksi
(a) Pengertian
Disfungsi ereksi (DE) berarti ketidakmampuan mencapai atau
mempertahankan ereksi penis yang cukup untuk melakukan hubungan seksual dengan
baik (Pangkahila, 2007).
Disfungsi ereksi disebut primer bila sejak semula ereksi
yang cukup unutuk melakukan hubungan seksual tidak pernah tercapai. Sedang
disfungsi ereksi sekunder berarti sebelumnya pernah berhasil melakukan hubungan
seksual, tetapi kemudian gagal karena sesuatu sebab yang mengganggu ereksinya
(Pangkahila, 2006).
(b) Penyebab dan manifestasi
Pada dasarnya DE dapat disebabkan oleh faktor fisik dan
faktor psikis. Penyebab fisik dapat dikelompokkan menjadi faktor hormonal,
faktor vaskulogenik, faktor neurogenik, dan faktor iatrogenik (Pangkahila,
2007).
Faktor psikis meliputi semua faktor yang menghambat reaksi
seksual terhadap rangsangan seksual yang diterima. Walaupun penyebab dasarnya
adalah faktor fisik, faktor psikis hampir selalu muncul dan menyertainya
(Pangkahila, 2007).
c) Gangguan ejakulasi (Pangkahila, 2007)
1) Ejakulasi dini
. ED merupakan ketidakmampuan mengontrol ejakulasi sampai
pasangannnya mencapai orgasme, paling sedikit 50 persen dari kesempatan
melakukan hubungan seksual. Berdasarkan waktu, ada yang mengatakan penis yang
mengalami ED bila ejakulasi terjadi dalam waktu kurang dari 1-10 menit.
Untuk menentukan seorang pria mengalami ED harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut : ejakulasi terjadi dalam waktu cepat, tidak dapat
dikontrol, tidak dikehendaki oleh yang bersangkutan, serta mengganggu yang
bersangkutan dan atau pasangannya (Pangkahila, 2007).
(b) Prevalensi dan manifestasi
ED merupakan disfungsi seksual terbanyak yang dijumpai di
klinik, melampaui DE. Survei epidemiologi di AS menunjukkan sekitar 30 persen
pria mengalami ED.
Ada beberapa teori penyebab ED, yang dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu penyebab psikis dan penyebab fisik. Penyebab fisik berkaitan
dengan serotonin. Pria dengan 5-HT rendah mempunyai ejaculatory threshold
yang rendah sehingga cepat mengalami ejakulasi. Penyebab psikis ialah kebiasaan
ingin mencapai orgasme dan ejakulasi secara tergesa-gesa sehingga terjadinya ED
(Pangkahila, 2006).
2) Ejakulasi terhambat
(a) Pengertian
Berlawanan dengan ED, maka pria yang mengalami ejakulasi
terhambat (ET) justru tidak dapat mengalami ejakulasi di dalam vagina. Tetapi
pada umumnya pria dengan ET dapat mengalami ejakulasi dengan cara lain,
misalnya masturbasi dan oral seks, tetapi sebagian tetap tidak dapat mencapai
ejakulasi dengan cara apapun.
(b) Prevalensi dan manifestasi
Dalam 10 tahun terakhir ini hanya 4 pasien datang dengan
keluhan ET. Sebagian besar ET disebabkan oleh faktor psikis, misalnya fanatisme
agama sejak masa kecil yang menganggap kelamin wanita adalah sesuatu yang
kotor, takut terjadi kehamilan, dan trauma psikoseksual yang pernah dialami.
d) Disfungsi orgasme (Pangkahila, 2007)
1) Pengertian
Disfungsi orgasme adalah terhambatnya atau tidak tercapainya
orgasme yang bersifat persisten atau berulang setelah memasuki fase rangsangan
(excitement phase) selama melakukan aktivitas seksual.
2) Penyebab dan manifestasi
Hambatan orgasme dapat disebabkan oleh penyebab fisik yaitu
penyakit SSP seperti multiple sklerosis, parkinson, dan lumbal sympathectomy.
Penyebab psikis yaitu kecemasan, perasaan takut menghamili, dan kejemuan
terhadap pasangan. Pria yang mengalami hambatan orgasme tetap dapat ereksi dan
ejakulasi, tapi sensasi erotiknya tidak dirasakan.
e) Dispareunia (Pangkahila, 2007)
1) Pengertian
Dispareunia berarti hubungan seksual yang menimbulkan rasa
sakit pada kelamin atau sekitar kelamin.
2) Penyebab dan manifestasi
Salah satu penyebab dispareunia ini adalah infeksi pada
kelamin. Ini berarti terjadi penularan infeksi melalui hubungan seksual yang
terasa sakit itu. Pada pria, dispareunia hampir pasti disebabkan oleh
penyakit atau gangguan fisik berupa peradangan atau infeksi pada penis, buah
pelir, saluran kencing, atau kelenjar prostat dan kelenjar kelamin lainnya.
4. Terapi dan Pengobatan Disfungsi Seksual
Disfungsi seksual baik yang terjadi pada pria ataupun wanita
dapat dapat mengganggu keharmonisan kehidupan seksual dan kualitas hidup, oleh
karena itu perlu penatalaksanaan yang baik dan ilmiah.
Prinsip penatalaksanaan dari disfungsi seksual pada pria dan
wanita adalah sebagai berikut (Susilo, 1994; Pangkahila, 2001; Richardson,
1991):
a) Membuat diagnosa dari disfungsi seksual
b) Mencari etiologi dari disfungsi seksual tersebut
c) Pengobatan sesuai dengan etiologi disfungsi seksual
d) Pengobatan untuk memulihkan fungsi seksual, yang terdiri
dari pengobatan bedah dan pengobatan non bedah (konseling seksual dan sex
theraphy, obat-obatan, alat bantu seks, serta pelatihan jasmani).
Pada kenyataannya tidak mudah untuk mendiagnosa masalah
disfungsi seksual. Diantara yang paling sering terjadi adalah pasien tidak
dapat mengutarakan masalahnya semua kepada dokter, serta perbedaan persepsi
antara pasien dan dokter terhadap apa yang diceritakan pasien. Banyak pasien
dengan disfungsi seksual membutuhkan konseling seksual dan terapi, tetapi hanya
sedikit yang peduli (Philips, 2000).
Oleh karena masalah disfungsi seksual melibatkan kedua belah
pihak yaitu pria dan wanita, dimana masalah disfungsi seksual pada pria dapat
menimbulkan disfungsi seksual ataupun stres pada wanita, begitu juga
sebaliknya, maka perlu dilakukan dual sex theraphy. Baik itu dilakukan
sendiri oleh seorang dokter ataupun dua orang dokter dengan wawancara keluhan
terpisah (Barry, Hodges, 1987).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terapi atau
penanganan disfungsi seksual pada kenyataanya tidak mudah dilakukan, sehingga
diperlukan diagnosa yang holistik untuk mengetahui secara tepat etiologi dari
disfungsi seksual yang terjadi, sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan yang
tepat pula.
2.
Parafilia
b.Pengertian
Kaplan (2002) mengatakan parafilia adalah gangguan seksual
yang ditandai oleh khayalan seksual yang khusus dan desakan serta praktek
seksual yang kuat, biasanya berulang kali dan menakutkan. Parafilia mengacu
pada sekelompok gangguan yang melibatkan ketertarikan seksual terhadap obyek
yang tidak biasa atau aktifitas seksual yang tidak biasa (Davidson dan Neale
dalam Fausiah, 2003).
c.Ciri (Nevid, 2002) :
Orang akan menunjukkan keterangsangan seksual sebagai respon
yang tidak biasa. Menurut DSM IV parafilia melibatkan dorongan dan fantasi
seksual yang berulang dan kuat, bertahan selama enam bulan yang berpusat pada
objek, perasaan merendahkan atau menyakiti diri atau pasangannya, atau anak-anak
dan orang lain yang tidak dapat atau tidak mampu memberikan persetujuan.
d.Jenis-jenis (Fausiah, 2003) :
1.fetihisme
2.transvestic fetihisme
3.pedofilia
4.inses
5.veyeurism
6.eksibision
7.fretteurism
8.sadisme
e.Faktor penyebab (Kaplan, 2002) :
1.psikososial,
2.organik,
f.Penanganan (Fausiah, 2003) :
1.pendekatan psikoanalitik,
2.pendekatan behavioral,
3.pendekatan kognitif,
4.pendekatan bilogis
I. Perilaku Seksual Kompulsif
Perilaku
seksual kompulsif adalah pengulangan tindakan erotik tanpa kenikmatan.
Apakah
kompulsi seksual berupa telepon seks tanpa akhir, one night stand (affair
singkat) atau bermasturbasi beberapa kali dalam sehari, penderitanya seringkali
melaporkan perasaan “tidak terkendali” sebelum aktivitas dan perasaan bersalah
atau malu setelahnya.
Apapun
kepuasan seksual yang dialami seseorang dari tindakan tersebut adalah dangkal
dan hambar.
Dalam tahun
tahun belakangan ini, konsep “adiksi seks” menjadi masalah yang diperdebatkan
dalam terapi seks.
Pendukung
teori menyatakan bahwa sebagian orang-yang mungkin dahulu disebut “womanizer”,
“rakes” atau “sluts”-bukan saja berkelakuan secara kompulsif tetapi juga
ketagihan terhadap seks karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk
mengendalikan dorongan seksualnya dan akan menempatkan mereka dalam resiko atau
akibat.
Pusat terapi
dan kelompok self help berdasarkan pada konsep Alcoholic Anonymous telah tumbuh
menjamur untuk menghadapi disfungsi masyarakat Barat.
Tetapi teori
adiksi seks memiliki lebih banyak penentang dalam komunitas profesional
dibandingkan pendukungnya.
IV. Kekerasan seksual
Kekerasan
seksual adalah kekerasan yang terjadi karena persoalan seksualitas.
Ibarat awan dan hujan, demikianlah hubungan antar seks dan kekerasan. Di mana
terdapat seks maka kekerasan hampir selalu dilahirkan. Termasuk dalam kekerasan
seksual adalah perkosaan, pelecehan seksual (penghinaan dan perendahan terhadap
lawan jenis), penjualan anak perempuan untuk prostitusi, dan kekerasan oleh
pasangan.
Perkosaan.
Kekerasan seksual terhadap anak-anak. Suatu tinjauan baru-baru ini
terhadap 17 studi dari seluruh dunia menunjukkan bahwa di manapun, sekitar 11%
sampai dengan 32% perempuan dilaporkan mendapat perlakuan atau mengalami
kekerasan seksual pada masa kanak-kanaknya. Umumnya pelaku kekerasan adalah
anggota keluarga, orang-orang yang memiliki hubungan dekat, atau teman. Mereka
yang menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak biasanya adalah korban
kekerasan seksual pada masa kanak-kanak.
Kekerasan
seksual terhadap pasangan. Kekerasan ini mencakup segala jenis kekerasan
seksual yang dilakukan seseorang terhadap pasangan seksualnya. Sebesar 95%
korban kekerasan adalah perempuan. Temuan penelitian yang dilakukan Rifka
Annisa bersama UGM, UMEA University, dan Women’s Health Exchange USA di
Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia, pada tahun 2000 menunjukkan bahwa 22% perempuan
mengalami kekerasan seksual. Sejumlah 1 dari 5 perempuan (19%) melaporkan bahwa
biasanya mereka dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangan mereka
selama dipukuli. Termasuk kekerasan seksual adalah kekerasan yang dilakukan
seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, semata-mata karena sang korban
adalah perempuan. Istilah untuk ini adalah kekerasan berbasis gender. Berikut
adalah kekerasan berbasis gender:
·
Kekerasan fisik : Menampar,
memukul, menendang, mendorong, mencambuk, dll.
·
Kekerasan emosional/ verbal: Mengkritik,
membuat pasangan merasa bersalah, membuat permainan pikiran, memaki, menghina,
dll.
·
Ketergantungan finansial: Mencegah
pasangan untuk mendapat pekerjaan, membuat pasangan dipecat, membuat pasangan
meminta uang, dll
·
Isolasi sosial: Mengontrol pasangan
dengan siapa boleh bertemu dan di mana bisa bertemu, membatasi gerak pasangan
dalam pergaulan, dll
·
Kekerasan seksual: Memaksa seks,
berselingkuh, sadomasokisme, dll.
·
Pengabaian/penolakan: Mengatakan
kekerasan tidak pernah terjadi, menyalahkan pasangan bila kekerasan terjadi,
dll.
·
Koersi, ancaman, intimidasi: Membuat
pasangan khawatir, memecahkan benda-benda, mengancam akan meninggalkan, dll
V.
Permasalahan Reproduksi
Kesehatan merupakan hal yang tidak
ternilai harganya bagi semua kalangan masyarakat di dunia. Begitu juga di
Indonesia, kesehatan adalah hal yang terpenting. Perempuan yang mempunyai peran
penting harus bisa menjaga kesehatannya. Sistem reproduksi perempuan sangat
mempengaruhi bagaimana kesehatan anak yang di kandung dan dilahirkan nanti.
Seorang perempuan mempunyai
tugas untuk melahirkan anak-anak yang akan meneruskan kehidupan ini. Perempuan
yang sempurna di nilai dari kemampuannya untuk melahirkan keturunan.
Semua itu berhubungan dengan sistem reproduksi perempuan itu sendiri. Sistem
reproduksi merupakan daerah sensitif bagi seorang perempuan. Menjaga kesehatan
reproduksi itu bukanlah hal yang mudah. Hal tersebut terbukti dengan adanya
masalah yang berhubungan dengan sistem reproduksi perempuan.
Di Indonesia sendiri reproduksi merupakan salah satu masalah yang diderita oleh
perempuan. Banyak perempuan yang tidak bisa melakukan proses reproduksi secara
normal karena beberapa faktor. Faktor gen merupakan salah satu penyebab yang
dapat membuat seorang perempuan mengalami gangguan reproduksi. Kelainan gen
dari kedua orang tua dapat mempengaruhi kelainan masalah reproduksi pada
perempuan.
Beberapa masalah sistem reproduksi yang sering dihadapi oleh seorang perempuan
adalah kemandulan, kanker serviks, keputihan berlebihan yang dapat menimbulkan
bau tidak sedap pada organ kewanitaan, jengger ayam, dan lain sebagainya.
Agar tidak menderita penyakit tersebut ada baiknya kita melakukan pencegahan.
Untuk mencegahnya bisa dilakukan dengan menjaga kebersihan diri sendiri.
Dimulai dengan menjaga kebersihan organ kewanitaan. Selain itu saat
membersihkan organ intim harus menggunakan air yang mengalir dan terbebas dari
kuman. Pepatah mengatakan “lebih baik mencegah dari pada mengobati”, untuk itu
lakukan pencegahan dari sejak dini supaya kesehatan sistem reproduksi terjaga.
BAB III
PENUTUP
Pengertian Kesehatan Reproduksi
menurut Konferensi Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) tahun 1994 di Kairo,
Mesir : yaitu "Kondisi utuh sehat sejahtera fisik, mental dan sosial,
tidak hanya bebas penyakit atau kecacatan, dalam sistem, fungsi, dan proses
reproduksi".
Aktivitas
seksual
adalah kebutuhan biologis yang diperlukan
oleh setiap manusia untuk meneruskan keturunannya.
Masalah - Masalah Kesehatan Reproduksi dan Kesehatan Seksual
1.
Disfungasi
Seksual
2.
Parafilia
3.
Perilaku
Seksual Kompulsif
4.
Kekerasan
Seksual
5.
Permasalahan
Reproduksi
Disfungsi seksual
menunjukkan adanya gangguan pada salah satu atau lebih aspek fungsi seksual.
Kaplan (2002) mengatakan parafilia adalah gangguan seksual yang ditandai oleh
khayalan seksual yang khusus dan desakan serta praktek seksual yang kuat,
biasanya berulang kali dan menakutkan. Parafilia mengacu pada sekelompok
gangguan yang melibatkan ketertarikan seksual terhadap obyek yang tidak biasa
atau aktifitas seksual yang tidak biasa (Davidson dan Neale dalam Fausiah,
2003). Kekerasan seksual adalah kekerasan yang terjadi karena persoalan
seksualitas. Perilaku seksual kompulsif adalah pengulangan tindakan erotik
tanpa kenikmatan.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar