Minggu, 23 Oktober 2011

ATONIA UTERI


           
      A.    Defenisi
Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot biometrium uterus untuk berkontraksi dan memendek (Kasus Emergensy Kebidanan: 2010)
Atonia uteri adalah uterus gagal berkontraksi dengan baik setelah persalinan (Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan non natal: 2002)
Atonia uteri adalah suatu kondisi di mana miometrium tidak dapat berkontraksi dan bila ini terjadi maka darah yang keluar dari bekas tempat melekatnya plasenta menjadi tidak terkendali (Perawatan Ibu Bersalin: 2009)
Atonia uteri (relaksasi otot uterus) adalah uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (JNPKR, Asuhan Persalinan Normal: 2002)

B.     Etiologi
Overdistensi uterus, baik absolut maupun relatif, merupakan faktor resiko mayor terjadinya atonia uteri overdistensi uterus dapat disebabkan oleh kehamilan ganda, janin maktosomio, polihid ram nion atau abnormalitas janin (misal hidrosepalus berat), kelainan struktur uterus atau kegagalan untuk melahirkan plasenta atau distensi akibat akumulasi darah di uterus baik sebelum maupun sesudah plasenta lahir. Lemahnya kontraksi mometrium merupakan akibat dari kelelahan karena persalinan lama atau persalinan dengan tenaga besar terutama bila mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat pula terjadi sebagai akibat dari  inbisi kontraksi yang disebabkan oleh obat-obatan, seperti agen anestesi terha logen) sasi, nitral, obat-obat antihfalaini?????????, nosistroid, magnesiumsulfat, bera simpatumimetik dan nifrdipin.
Penyebab lain yaitu plasenta letak rendah, toksin bakteri (kontiomniotis erdomio metritis, septikemala), hipoksia akibat hipopertusi atau uterus couvelaine) pada abrotio plasenta dan hipotermia akibat resusitasi masif.
Data terbaru menyebutkan bahwa grandemultifaritas bukan merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya perdarahan postpartum.

C.    Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis atonia uteri terdiri dari:
1.      Kontraksi iterus lembek, lemah dan membesar/ fundus uteru masih tinggi.
2.      Pendarahan terjadi beberapa menit setelah anak lahir.
3.      Bila kontraksi lemah setelah shahasase atau pemberian uterotonika, kontraksi yang lemah tersebut menjadi kuat.
Gejala yang ada:
Uterus tidak berkontraksi dan lembek dan perdarahan segera setelah anak lahir (perdarahan postpartum primer)
Gejala yang kadang-kadang timbul:
Syok/tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil eksiremitas dingin, gelisah, mual dan lain-lain)

D.    Pencegahan Atonia Uteri
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.
Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam.
Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini. Karbetosin merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit. Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding oksitosin.

E.     Penanganan
1.      Resutasi cairan
Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah
2.      Uteornika
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyababkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.
Metilergonovin maleat merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM. Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan langsung pada miometrium jika diperlukan (IMM) atau IV bolus 0,125 mg. obat ini dikenal dapat menyebabkan vasospasme perifer dan hipertensi, dapat juga menimbulkan nausea dan vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi.
Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil prostaglandin F2alfa. Dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous, intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g). Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat menimbulkan efek samping prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare, sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme yang disebabkan kontraksi otot halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga kadang-kadang menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang disebabkan peningkatan basal temperatur, hal ini menyebabkan penurunan saturasi oksigen. Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan kardiovaskular, pulmonal, dan disfungsi hepatik. Efek samping serius penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar dapat hilang sendiri. Dari beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin efektif untuk mengatasi perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri dengan angka kesuksesan 84%-96%. Perdarahan pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri maka perlu dipertimbangkan penggunaan uterotonika ini untuk mengatasi
0)      Masase
Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan menghentikan perdarahan. Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (max 15 detik)
3.      Kompresi Bimanual
a.       Kompresi bimanual interna
Kompresi Bimanual Interna adalah tangan kiri penolong dimasukan ke dalam vagina dan sambil membuat kepalan diletakan pada forniks anterior vagina. Tangan kanan diletakan pada perut penderita dengan memegang fundus uteri dengan telapak tangan dan dengan ibu jari di depan serta jari-jari lain di belakang uterus. Sekarang korpus uteri terpegang antara 2 tangan antara lain, yaitu tangan kanan melaksanakan massage pada uterus dan sekalian menekannya terhadap tangan kiri.

Tindakan
Kompresi bimanual internal :
1)      Pakai sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril, dengan lembut memasukan tangan (dengan cara menyatukan kelima ujung jari) ke introitus dan ke dalam vagina ibu.
2)      Periksa vagina dan serviks untuk mengetahui ada tidaknya selaput ketuban atau bekuan darah pada kavum uteri yang memungkinkan uterus tidak dapat berkontraksi secara penuh.
3)      Letakkan kepalan tangan pada forniks anterior, menekan dinding anterior uterus, sementara telapak tangan lain pada abdomen, menekan dengan kuat dinding belakang uterus ke arah kepalan tangan dalam.
4)      Tekan uterus dengan kedua tangan secara kuat. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan tekanan langsung pada pembuluh darah di dalam dinding uterus dan juga merangsang miometrium untuk berkontraksi.
5)      Evaluasi hasil kompresi bimanual internal:
·         Jika uterus berkontraksi dan perdarahan berkurang, teruskan melakukan KBI selama 2 menit, kemudian perlahan-lahan keluarkan tangan dari dalam vagina, pantau kondisi ibu secara melekat selama kala IV
·         Jika uterus berkontraksi tetapi perdarahan terus berlangsung, periksa perineum, vagina dan serviks apakah terjadi laserasi di bagian tersebut, segera lakukan penjahitan bila ditemukan laserasi.
·         Kontraksi uterus tidak terjadi dalam 5 menit, ajarkan pada keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksternal, kemudian teruskan dengan langkah-langkah penatalaksanaan atonia uteri selanjutnya. Minta keluarga untuk mulai menyiapkan rujukan.

b.      Kompresi Bimanual eksterna
Kompresi bimanual eksterna merupakan tindakan yang efektif untuk mengendalikan perdarahan misalnya akibat atonia uteri. Kompresi bimanual ini diteruskan sampai uterus dipastikan berkontraksi dan perdarahan dapat dihentikan.ini dapat di uji dengan melepaskan sesaat tekanan pada uterus dan kemudian mengevaluasi konsistensi uterus dan jumlah perdarahan. Penolong dapat menganjurkan pada keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksterna sambil penolong melakukan tahapan selanjutnya untuk penatalaksanaan atonia uteri.
Dalam melakukan kompresi bimanual eksterna ini, waktu sangat penting, demikian juga kebersihan. sedapat mungkin ,gantillah sarung tangan atau cucilah tangan sebelum memulai tindakan ini.
1)      Peralatan
·         Sarung tangan steril
·         Cairan infuse
·         Peralatan infuse
·         Jarum infuse
·         Plester
·         Kateter urin
2)      Prosuder kompresi bimanual eksterna
·         Bila mungkin mintalah bantuan seseorang
·         Cobalah massage ringan agar uterus berkontraksi
·         Periksa apakah kandung kencing penuh.jika kandung kencing penuh,mintalah ibu untuk buang air kecil.bila tidak berhasil,pasanglah kateter
·         Jika perdarahan tidak berhenti, lakukan kompresi bimanual eksterna.
Ada beberapa  cara dalam melakukan kompresi bimanual eksterna yaitu:
Cara I
·         Tangan kiri menggenggam rahimdari luar dan dasar rahim,
·         Tangan kanan menggenggam rahim bagian bawah,
·         Kemudian keduatangan menarik rahim keluar dari rongga panggul, sedangkan tangan kanan memeras bagian bawah rahim.
Cara II
·         Letakan satu tangan pada dinding perut dan usahakan sedapat mungkin bagian belakang uterus,
·         Letakan tangan dan lain dalam keadaan terkepal pada bagian depan kurpus uteri,
·         Kemudian rapatkan kedua tangan untuk menekan pembuluh darah ke dinding uterus dengan jalan menjepit uterus diantara kedua tangan tersebut.
o   Berikan 10 unit oksitoksin (syntocinon) secara IM atau  melalui infuse jika mungkin, kemudian berikan ergometrin 0,2 mg (methergin) IM, kecuali jika ibu menderita hipertensi berat. Dapat juga diberikan 0,5 mg syntometrin IM jika ibu tidak menderita hipertensi. Jika perdarahan berkurang atau berhenti mintalah ibu menyusui bayi.
o   Jika hal ini tidak berhasil menghentikan perdarahan dan uterus tetap tidak berkontraksi walaupun telah di rangsang dengan mengusap-usap perut pasanglah infuse.
c.       Kompresi Aorta Abdominal
Peralatan yang di perlukan untuk dapat melakukan kompresi aorta abdominalis tidak ada, kecuali sedapat mungkin teknik yang benar, sehingga aorta benar-benar tertutup untuk sementara waktu sehingga perdarahan karena otonia uteri dapat di kurangi.
Tata cara komperesi aorta abdominalis:
1)      Tekanlah aorta abdominalis diatas uterus dengan kuat dan dapat dibantu dengan tangan kiri selama 5 s/d 7 menit.
2)      Lepaskan tekanan sekitar 30 sampai 60 detik sehingga bagian lainnya tidak terlalu banyak kekurangan darah.
3)      Tekanan aorta abdominalis untuk mengurangi perdarahan bersifat sementara sehingga tersedia waktu untuk memasang infus dan memberikan uterotonika secara intravena.

Tekhnik Penekanan Aorta
o   Berikan tekanan kebawah dengan tekanan tangan diletakan diatas pers abdominalis aorta melalui dinding abdomen
o   Titik kompresi tepat diatas umbilikus dan agak kekiri
o   Denyut aorta dapat diraba dengan mudah melalui dinding abdomen anterior segera pada periode pascapartum
o   Dengan tangan yang lain palpasi denyut nadi femoral untuk memeriksa keadekuatan kompresi
o   Jika denyut nadi teraba selama kompresi tekanan yang dikeluarkan kepalan tangan tidak adekuat
o   Jika denyut nadi femoral tidak teraba tekanan yang dikeluarakan kepalan tangan adekuat
o   Pertahanan kompresi sampai darah terkontrol
o   Jika pendarahan berlanjut walaupun kompresi telah dilakukan
o   Lakukan ligasi uteria dan ligasi ateri uteri
o   Bila tidak berhasil, histerektomi adalah langkah terakhir
4.      Uterine lavage dan Uterine Packing
Jika uterotonika gagal menghentikan perdarahan, pemberian air panas ke dalam cavum uteri mungkin dapat bermanfaat untuk mengatasi atonia uteri. Pemberian 1-2 liter salin 47°C-50°C langsung ke dalam cavum uteri menggunakan pipa infus. Tangan operator tidak boleh menghalangi vagina untuk memberi jalan salin keluar.
Penggunaan uterine packing saat ini tidak disukai dan masih kontroversial. Efeknya adalah hiperdistended uterus dan sebagai tampon uterus.
Prinsipnya adalah membuat distensi maksimum sehingga memberikan tekanan maksimum pada dinding uterus. Segmen bawah rahim harus terisi sekuat mungkin, anestesi dibutuhkan dalam penanganan ini dan antibiotika broad-spectrum harus diberikan. Uterine packing dipasang selama 24-36 jam, sambil memberikan resusitasi cairan dan transfusi darah masuk. Uterine packing diberikan jika tidak tersedia fasilitas operasi atau kondisi pasien tidak memungkinkan dilakukan operasi
5.      Operatif
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri uterina yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.
a.       Ligasi arteri Iliaka Interna
Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan menggunakan benang non absobable dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan sebelum dan sesudah ligasi.
Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.
b.      Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan oleh Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk mengatasi perdarahan pospartum akibat atonia uteri.
c.       Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi perdarahan pospartum masif yang membutuhkan tindakan operatif. Insidensi mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada persalinan abdominal dibandingkan vaginal.