Rabu, 06 Februari 2013

Mengenal Histamin, Penyebab Alergi


Mengenal Histamin, Penyebab Alergi

  

Histamin adalah senyawa jenis amin yang terlibat dalam tanggapan imun lokal, selain itu senyawa ini juga berperan dalam pengaturan fungsi fisiologis di lambung dan sebagai neurotransmitter.
Sebagai tanggapan tubuh terhadap patogen, maka tubuh memproduksi histamin di dalam basofil dan sel mast, dengan adanya histamin maka terjadi peningkatan permeabilitas kapiler-kapiler terhadap sel darah putih dan protein lainnya. Hal ini akan mempermudah sel darah putih dalam memerangi infeksi di jaringan tersebut.
Histamin bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor histamin di sel. Ada 4 jenis reseptor histamin yang telah diidentifikasi, yakni:
Reseptor Histamin H1
Reseptor ini ditemukan di jaringan otot, endotelium, dan sistem syaraf pusat. Bila histamin berikatan dengan reseptor ini, maka akan mengakibatkan vasodilasi, bronkokonstriksi, nyeri, gatal pada kulit. Reseptor ini adalah reseptor histamin yang paling bertanggungjawab terhadap gejala alergi.

Reseptor Histamin H2
Ditemukan di sel-sel parietal. Kinerjanya adalah meningkatkan sekresi asam lambung.

Reseptor Histamin H3
Bila aktif, maka akan menyebabkan penurunan penglepasan neurotransmitter, seperti histamin, asetilkolin, norepinefrin, dan serotonin.

Reseptor Histamin H4
Paling banyak terdapat di sel basofil dan sumsum tulang. Juga ditemukan di kelenjar timus, usus halus, limfa, dan usus besar. Perannya sampai saat ini belum banyak diketahui.
Beberapa fungsi pengaturan di dalam tubuh juga telah ditemukan berkaitan erat dengan kehadiran histamin. Histamin dilepaskan sebagai neurotransmitter. Aksi penghambatan reseptor histamin H1  (antihistamin H1) menyebabkan mengantuk. Selain itu ditemukan pula bahwa histamin juga dilepaskan oleh sel-sel mast di organ genital pada saat terjadi orgasme.
Pasien penderita schizophrenia ternyata memiliki kadar histamin yang rendah dalam darahnya. Hal ini mungkin disebabkan karena efek samping dari obat antipsikotik yang berefek samping merugikan bagi histamin, contohnya quetiapine. Ditemukan pula bahwa ketika kadar histamin kembali normal, maka kesehatan pasien penderita schizophrenia tersebut juga ikut membaik.

http://www.apoteker.info/Topik%20Khusus/histamin.htm


Penggunaan Antiemetik pada muntah akibat Gastroenteritis


Penggunaan Antiemetik pada muntah akibat Gastroenteritis

Gastroenteritis akut atau yang biasa dikenal dengan istilah muntaber merupakan salah satu penyebab utama muntah pada anak-anak terutama pada usia di bawah 3 tahun, serta merupakan penyebab umum masuknya anak dan remaja ke unit gawat darurat.
Muntah didefinisikan sebagai pengeluaran isi lambung secara paksa melalui mulut. Muntah terjadi akibat koordinasi kontraksi otot abdomen yang dibarengi dengan penurunan tekanan sfingter esofagus dan dilatasi atau pelebaran esofagus.
Dehidrasi adalah kondisi penurunan total cairan tubuh akibat berkurangnyag volume cairan baik intraselular maupun ekstraselular. Dehidrasi sendiri merupakan salah satu penyebab penting morbiditas pada anak dengan muntah (AAP 1996). Manifestasi klinis dehidrasi berkaitan cukup erat dengan hilangnya volume intravaskular yang mengarah pada komplikasi meliputi syok ireversibel, kejang-kejang, dan gagal ginjal. Kelaparan disebabkan oleh penurunan asupan kalori pada anak yang muntah dapat mengarah pada penghancuran lemak (yang mengakibatkan ketonemia atau menumpuknya keton sebagai produk akhir penghancuran lemak); sehingga akhirnya menimbulkan dehidrasi lebih lanjut.
Panduan terbaru
Panduan terapi untuk gastroenteritis saat ini meliputi pemberian oralit dan zink, tanpa pemberian antiemetik untuk mengatasi muntah yang terjadi saat gastroenteritis.
Kontroversi penggunaan Antiemetik untuk Gastroenteritis
¡ Sebagian besar antiemetik untuk anak-anak memiliki efek samping yang terlalu banyak dan tidak direkomendasikan untuk anak-anak. Efek samping metoclopramide, prochlorperazine, diphenhydramine berupa efek sedasi dan gejala-gejala ekstrapiramidal.
¡ Penelitian terhadap antiemetik selain ondansetron memiliki jumlah sampel yang kecil, kualitas metodologi yang rendah dan menghasilkan hasil yang inkonsisten. Meskipun demikian, dari hasil tinjauan sejumlah penelitian yang dilakukan oleh DeCamp dkk, dapat ditarik kesimpulan bahwa ondansetron boleh dianjurkan untuk dimasukkan dalam panduan terapi gastroenteritis pada anak; karena ondansetron terbukti menurunkan frekuensi muntah, kebutuhan pemberian cairan infus, dan kebutuhan perawatan di rumah sakit akibat gastroenteritis.
Ondansetron untuk gastroenteritis
- Mengapa ondansetron berbeda
¡ Walaupun mekanisme terjadinya muntah kompleks dan belum sepenuhnya dipahami, bukti menunjukkan bahwa salah satu mekanisme yang melepaskan serotonin di lambung dan usus yang memicu respon muntah.
¡ Ondansetron merupakan antagonis reseptor 5HT3 tanpa ada aktivitas antagonis dopamine sehingga tidak menimbulkan gejala ekstrapiramidal.
¡ Terbukti aman untuk anak-anak di atas 1 bulan. (approval FDA untuk digunakan pada anak mulai usia 1 bulan)
¡ Mudah untuk digunakan (injeksi, tablet, sirup).
Apakah Ondansetron merupakan antiemetik yang tepat untuk anak dengan gastroenteritis?
- Dukungan Literatur
o Berdasarkan hasil studi meta-analisis dari DeCamp, pemberian ondansetron dapat menurunkan risiko muntah berkepanjangan sampai dengan 55%, menurunkan kebutuhan cairan infus sampai dengan 59%, dan menurunkan kebutuhan rawat inap di rumah sakit sampai dengan 48%. (1)
- Dosis penggunaan
Dosis ondansetron yang digunakan untuk menangani kasus mual dan muntah pada gastroenteritis adalah 0,15 mg/kg BB (2) yang diberikan tiga kali sehari. Atau bisa menggunakan dosis berdasarkan rentang berat badan sebagai berikut:
Anak dengan berat badan 8 – 15 kg : 2 mg
Anak dengan berat badan 15 – 30 kg : 4 mg
Anak dengan berat badan di atas 30 kg : 8 mg
- Tinjauan harga
Sebelumnya ondansetron telah terbukti dapat meningkatkan keberhasilan rehidrasi oral. Berdasarkan analisis farmakoekonomis dari Freedman dkk (2010), pemakaian ondansetron untuk terapi gastroenteritis dapat menurunkan biaya terapi keseluruhan per tahun sampai dengan USD 65.6 juta di Amerika Serikat dan CDN 1.72 juta di Kanada. Artinya ondansetron dapat membantu menghemat biaya terapi total yang harus dikeluarkan untuk kasus gastroenteritis. Meskipun demikian masih diperlukan penelitian serupa di Indonesia, karena adanya perbedaan biaya pengobatan antara Indonesia dengan Amerika Serikat dan Kanada.
Kesimpulan
Keputusan penggunaan antiemetik diserahkan kepada dokter yang menangani pasien. Panduan terapi gastroenteritis belum memasukkan pemberian antiemetik sebagai standar terapi. Mengacu pada penelitian terbaru, ondansetron merupakan satu-satunya antiemetik yang memiliki dasar ilmiah yang memadai. Pada kasus muntah dengan risiko dehidrasi yang relatif ringan, maka pemberian antiemetik atau ondansetron tidak diperlukan. Tetapi jika pemberian rehidrasi secara oral tidak memungkinkan, serta risiko dehidrasi lebih tinggi, maka pemberian ondansetron dapat dipertimbangkan.
DAFTAR ISTILAH
Meta-analisis: metode statistik yang menganalisis kombinasi hasil dari beberapa studi penelitian yang berkaitan dengan hipotesis atau teori yang ingin diselidiki dalam penelitian.


Referensi
1. DeCamp LR et al. Use of Antiemetic Agents in Acute Gastroenteritis: A Systematic Review and Meta-analysis. Arch Pediatr Adolesc Med 2008; 162(9): 858-865
2. Freedman SB et al. Oral Ondansetron for Gastroenteritis in a Pediatric Emergency Department. N Engl J Med 2006; 354: 1698-705.
3. Freedman SB et al. Oral Ondansetron Administration in Emergency Departments to Children with Gastroenteritis: An Economic Analysis. PLoS Medicine 2010; 7 (10) (published online on October 1, 2010, doi:10.1371/journal.pmed.1000350).


http://tumbuhsehat.com/index.php?option=com_content&view=article&id=115&Itemid=77





DEXAMETHASON


Dexamethasone

22.47
Komposisi :
Tiap tablet dexamethasone  mengandung:
deksametason
deksametason
..................................
..................................
  0,5 mg
0,75 mg
Tiap ml injeksi Deksamethasone Harsen mengandung
Deksametason Natrium Fosfat ..................................  5 mg
Uraian dan Penggunaan:
Deksamethasone adalah obat anti inflamasi dan anti alergi yang sangat kuat. Sebagai perbandingan  Deksamethasone 0,75 mg setara dengan obat sbb : 25 mg cortisone, 25 mg hydrocortisone, 5 mg prednisone, 5 mg prednisolone.
Deksamethasone Harsen praktis tidak mempunyai aktivitas mineral corticoid dari Cortisone dan Hydrocortisone, sehingga pengobatan untuk kekurangan adrenocortical tidak berguna. 

Obat ini digunakan sebagai glucocorticoid khususnya; untuk anti inflamasi, pengobatan rheumatik arthritis dan penyakit collagen lainnya, alergi dermatitis dll. penyakit kulit, penyakit inflamasi pada masa dan kondisi lain dimana terapi glucocorticoid berguna lebih menguntungkan sebagai penyakit leukemia tertentu dan lymphomas dan inflamasi pada jaringan lunak dan anemia hemolytica.

Kontra Indikasi 
  • Dexamethasone Harsen tidak boleh diberikan pada penderita herpes simplex pada mata; tuberkulose aktif, peptic ulcer aktif atau psikosis kecuali dapat menguntungkan penderita.
  • jangan diberikan pada wanita hamil karena akan terjadi hypoadrenalism pada bayi yang dikandungnya atau diberikan dengan dosis yang serendah-rendahnya.
Efek Samping
  • Pengobatan yang berkepanjangan dapat mengakibatkan efek katabolik steroid seperti kehabisan protein, osteoporosis dan penghambatan pertumbuhan anak.
  • Penimbunan garam, air dan kehilangan potassium  jarang terjadi bila dibandingkan dengan beberapa glucocorticoid lainnya.
  • Penambahan nafsu makan dan berat badan lebbih sering terjadi.
Dosis :
Dewasa :
Oral           :

Parenteral  :


Anak2       :

0,5 mg - 10 mg per  hari
(rata2 1,5 mg - 3 mg per hari).
5 mg - 40 mg per hari.
untuk keadaan yang darurat diberikan intra vena atau intra muskular.
Dosis i.m. diberikantiap 6 jam untuk mendapatkan efek yang maksimum.
0,08 mg - 0,3 mg/kg berat badan/hari dibagi dalam 3 atau 4 dosis.


Interaksi Obat :
  • Insulin, hipoglikemik oral : menurunkan efek hipoglikemik
  • Phenythoin, phenobarbital, efedrin : meningkatkan clearance metabolik dari deksametason; menurunkan kadar steroid dalam darah dan aktifitas fisiologis.
  • Antikoagulansia oral : meningkatkan atau menurunkan waktu protrombin.
  • Diuretik yang mendepresi kalium : meningkatkan resiko hipokalemia.
  • Glikosida kardiak: meningkatkan reesiko aritmia atau toksisitas digitalis sekunder terhadap hipokalemia.
  • Antigen untuk tes kulit : menurunkan reaksivitas.
  • Imunisasi : menurunkan respon antibodi.
Perhatian :
  • Kekurangan adrenocortical sekunder yang disebabkan oleh pengobatan dapat dikurangi dengan mengurangi dosis secara bertahap.
  • Ada penambahan efek Corticosteroid pada penderita dengan hypothyroidism dan cirrhosis.


Read more:http://ahli-farmasi.blogspot.com/2012/01/dexamethasone.html#ixzz2K6khGe2S


ASAM TRANEKSAMAT


Traneksamat

Deskripsi
- Nama & Struktur Kimia:Trans-4-(aminomethyl)cyclohexanecarboxylic acid. C7H15NO2
- Sifat Fisikokimia:Serbuk kristal berwarna putih. Larut baik dalam air dan dalam asam asetat glasial.
- Keterangan:Larutan 5% dalam air mempunyai pH : 7.0 - 8.0
Golongan/Kelas Terapi
Obat Yang mempengaruhi darah
Nama Dagang
- Clonex- Ditranex- Intermic- Klanex
- Lunex- Pytramic- Ronex- Theranex
- Tranexid- Transamin- Tranxa- Asamnex
Indikasi
Asam traneksamat adalah obat antifibrinolitik yang menghambat pemutusan benang fibrin. Asam traneksamat digunakan untuk profilaksis dan pengobatan pendarahan yang disebabkan fibrinolisis yang berlebihan dan angiodema hereditas.
Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian
Dosis oral : 1-1.5 gram (atau 15-25 mg/kg) 2 sampai 4 kali sehari.
Dosis injeksi intravena perlahan : 0.5 -1 g (atau 10 mg/kg) 3 kali sehari.
Dosis infus kontinyu : 25-50 mg/kg setiap hari.
Dosis anak : 25 kg/mg melalui oral atau 10 mg/kg melalui intra vena setiap 2 atau 3 kali sehari.
Farmakologi
Asam traneksamat diabsorbsi dari saluran cerna dengan konsentrasi plasma puncak tercapai setelah 3 jam. Bioavailabilitasnya sekitar 30-50%, didistribusikan hampir ke seluruh permukaan tubuh dan mempunyai ikatan protein yang lemah. Berdifusi ke plasenta dan air susu. Waktu paruh eliminasi adalah 3 jam, diekskresikan dalam urin sebagai obat tidak berubah.
Stabilitas Penyimpanan
Disimpan ditempat yang sejuk
Kontraindikasi
Pasien tromboembolik.
Efek Samping
Mual, muntah, diare, pusing dan rash.
Interaksi

- Dengan Obat Lain : 
Obat yang berfungsi untuk menjaga hemostasis tidak diberikan bersamaan dengan obat antifibrinolitik. Pembentukan trombus akan meningkat dengan adanya oestrogen, atau mekanisme antifibrinolitk diantagonis oleh senyawa trombolisis.

- Dengan Makanan :  -

Pengaruh

- Terhadap Kehamilan : 
Faktor resiko : B

- Terhadap Ibu Menyusui : -

- Terhadap Anak-anak : -

- Terhadap Hasil Laboratorium : -

Parameter Monitoring
-
Bentuk Sediaan
Kapsul 250 mg, Tablet 500 mg, Injeksi 50 mg/ml
Peringatan
Kurangi dosis pada gangguan ginjal pada pengobatan jangka panjang secara teratur lakukan pemeriksaan mata regular dan uji fungsi hati.
Kasus Temuan Dalam Keadaan Khusus
-
Informasi Pasien
-
Mekanisme Aksi
Asam traneksamat bekerja dengan cara memblok ikatan plasminogen dan plasmin terhadap fibrin ; inhibisi terhadap plasmin ini sangat terbatas pada tingkat tertentu.
Monitoring Penggunaan Obat
-
Daftar Pustaka
Martindale, 34th edition, 2005
MIMS 2006/2007

SUMBER: 
http://dinkes.tasikmalayakota.go.id/index.php/informasi-obat/392-traneksamat.html



SISTEM SARAF TEPI

Sistem Saraf TepiBiologi Kelas 2 > Sistem Saraf
86
Sistem saraf tepi terdiri dari sistem saraf sadai dan sistem saraf tak sadar (sistem saraf otonom). Sistem saraf sadar mengontrol aktivitas yang kerjanya diatur oleh otak, sedangkan saraf otonom mengontrol aktivitas yang tidak dapat diatur otak antara lain denyut jantung, gerak saluran pencernaan, dan sekresi keringat.
Gbr. Saraf tepi dan aktivitas-aktivitas yang dikendalikannya
1. Sistem Saraf Sadar
Sistem saraf sadar disusun oleh saraf otak (saraf kranial), yaitu saraf-saraf yang keluar dari otak, dan saraf sumsum tulang belakang, yaitu saraf-saraf yang keluar dari sumsum tulang belakang.
Saraf otak ada 12 pasang yang terdiri dari:
  1. Tiga pasang saraf sensori, yaitu saraf nomor 1, 2, dan 8
  2. lima pasang saraf motor, yaitu saraf nomor 3, 4, 6, 11, dan 12
  3. empat pasang saraf gabungan sensori dan motor, yaitu saraf nomor 5, 7, 9, dan 10.

Gambar 2
Otak dilihat dari bawah menunjukkan saraf kranial
Saraf otak dikhususkan untuk daerah kepala dan leher, kecuali nervus vagus yang melewati leher ke bawah sampai daerah toraks dan rongga perut. Nervus vagus membentuk bagian saraf otonom. Oleh karena daerah jangkauannya sangat luas maka nervus vagus disebut saraf pengembara dan sekaligus merupakan saraf otak yang paling penting.
Saraf sumsum tulang belakang berjumlah 31 pasang saraf gabungan. Berdasarkan asalnya, saraf sumsum tulang belakang dibedakan atas 8 pasang saraf leher, 12 pasang saraf punggung, 5 pasang saraf pinggang, 5 pasang saraf pinggul, dan satu pasang saraf ekor.
Beberapa urat saraf bersatu membentuk jaringan urat saraf yang disebut pleksus. Ada 3 buah pleksus yaitu sebagai berikut.
a. Pleksus cervicalis merupakan gabungan urat saraf leher yang mempengaruhi bagian leher, bahu, dan diafragma.b.Pleksus brachialis mempengaruhi bagian tangan. 
c. Pleksus Jumbo sakralis 
yang mempengaruhi bagian pinggul dan kaki.

2. Saraf Otonom
Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak maupun dari sumsum tulang belakang dan menuju organ yang bersangkutan. Dalam sistem ini terdapat beberapa jalur dan masing-masing jalur membentuk sinapsis yang kompleks dan juga membentuk ganglion. Urat saraf yang terdapat pada pangkal ganglion disebut urat saraf pra ganglion dan yang berada pada ujung ganglion disebut urat saraf post ganglion.
Sistem saraf otonom dapat dibagi atas sistem saraf simpatik dan sistem saraf parasimpatik. Perbedaan struktur antara saraf simpatik dan parasimpatik terletak pada posisi ganglion. Saraf simpatik mempunyai ganglion yang terletak di sepanjang tulang belakang menempel pada sumsum tulang belakang sehingga mempunyai urat pra ganglion pendek,sedangkan saraf parasimpatik mempunyai urat pra ganglion yangpanjang karena ganglion menempel pada organ yang dibantu.
Fungsi sistem saraf simpatik dan parasimpatik selalu berlawanan (antagonis). Sistem saraf parasimpatik terdiri dari keseluruhan "nervus vagus" bersama cabang-cabangnya ditambah dengan beberapa saraf otak lain dan saraf sumsum sambung.
Tabel Fungsi Saraf Otonom
Parasimpatik
Simpatik
  • mengecilkan pupil
  • menstimulasi aliran ludah
  • memperlambat denyut jantung
  • membesarkan bronkus
  • menstimulasi sekresi kelenjar pencernaan
  • mengerutkan kantung kemih
  • memperbesar pupil
  • menghambat aliran ludah
  • mempercepat denyut jantung
  • mengecilkan bronkus
  • menghambat sekresi kelenjar pencernaan
  • menghambat kontraksi kandung kemih
http://bebas.vlsm.org/v12/sponsor/Sponsor-Pendamping/Praweda/Biologi/0086%20Bio%202-9e.htm



RANITIDIN


RANITIDIN


Ranitidin merupakan salah satu obat yang cukup dikenal dikalangan masyarakat umum, yang disebabkan pemanfaatan obat ini yang cukup tinggi. Dokter umum dan spesialis penyakit dalam umumnya akan sering meresepkan obat ini. Secara umum, masyarakat mengenal ranitidin untuk indikasi ulkus duodenum, ulkus lambung, dan kondisi hipersekresi gastrointestinal (GI) patologikal. Penyakit-penyakit yang mengindikasi penggunaan ranitidin ini prevalensinya cukup tinggi dimasyarakat, sehingga wajar jika penggunaan ranitidin juga cukup tinggi jumlahnya. Dalam peresepannya, dokter dapat meresepkan ranitidin ini baik sebagai terapi utama maupun terapi pendukung. Tulisan ini akan sedikit mengulas semua hal yang berhubungan dengan ranitidin. Semoga bermanfaat.

NAMA, STRUKTUR KIMIA DAN DESKRIPSI 


Ranitidin memiliki rumus molekul C13H22N4O3S dengan bobot molekul 314,4 g/mol. Ranitidin adalah salah satu senyawa yang mengantagonis reseptor histamin H2 yang menghambat sekresi asam lambung. Selain digunakan dalam terapi penyakit ulkus peptikum dan gastroesophageal refluks, ranitidin juga dapat digunakan sebagai antihistamin pada berbagai kondisi alergi pada kulit.

Rumus Struktur Ranitidin

Struktur 3 Dimensi Ranitidin

Ranitidin memiliki nama ilmiah NN-Dimethyl-5-[2-(1-methylamino-2-nitrovinylamino)ethylthiomethyl]furfurylamine. Ranitidin yang tersedia umumnya adalah ranitidin hidroklorida. Ranitidin merupakan serbuk kristalin berwarna putih hingga kuning pucat, praktis tidak berbau, mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam alkohol. Larutan 1% ranitidin dalam air mempunyai pH 4,5-6,0. Setiap 168 mg ranitidin hidroklorida setara dengan 150 mg ranitidin base. 

KEGUNAAN

Ranitidin diunakan secara oral dalam terapi ulkus duodenum dan ulkus lambung yang aktif, gasthroesophageal reflux desease (GERD), esofagitis erosif dengan endoskopi, dan sebagai terapi pemeliharaan pada ulkus duodenum dan ulkus lambung. Ranitidin oral juga digunakan dalam manajemen kondisi hipersekresi gastrointestinal (GI) patologis dan sebagai terapi pemeliharaan untuk mencegah kambuhnya esofagitis erosif. Ranitidin juga dapat digunakan secara parenteral pada pasien rawat inap dengan kondisi hipersekresi patologis pada saluran GI, atau sebagai terapi jangka pendek jika terapi oral belum memberikan respon yang optimum.

Ulkus Duodenum
Terapi Ulkus Duodenum Akut
Ranitidin oral digunakan dalam terapi jangka pendek pada ulkus duodenum aktif yang dikonfirmasi dengan endoskopi atau radiografi. Ranitidin parenteral digunakan pada pasien  dewasa dengan diagnosa ulkus duodenum parah yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit atau pada terapi jangka pendek jika terapi oral tidak memadai. Ranitidin intravena juga digunakan pada pasien anak-anak (lebih dari bulan) dengan diagnosa ulkus duodenum. Antasida dapat digunakan bersamaan dengan terapi ini untuk menghilangkan rasa nyeri ulkus duodenum. Kombinasi antasida dan ranitidin ini terbukti mampu mengurangi kesakitan pada pasien.

Khasiat dan keamanan ranitidin untuk terapi jangka panjang ulkus duodenum belum diketahui. Keamanan dan khasiat ranitidin ini baru diketahui untuk penggunaan selama 8 minggu. Dan masalahnya bahwa pengobatan jangka pendek ulkus duodenum aktif (hingga 8 minggu) ini tidak mencegah kekambuhannya.

Terapi Pemeliharaan Ulkus Duodenum
Ranitidin digunakan dalam dosis rendah untuk terapi pemeliharaan setelah proses penyembuhan ulkus duodenum untuk mencegah kekambuhan. Dalam studi terkontrol angka kekambuhan ulkus duodenum setelah 4, 8 dan 12 bulan masing-masing adalah 21-24, 28-35, dan 59-68% untuk kelompok plasebo, dan angka kekambuhan pada kelompok yang diterapi dengan ranitidin 1 kali sehari 150 mg sebelum tidur masing-masing adalah 12-20, 21-24 dan 28-35%. Dalam studi tersebut juga diketahui bahwa efektivitas ranitidin dalam mencegah kekambuhan ulkus duodenum menurun pada kelompok pasien dengan kebiasaan merokok.

Kondisi Hipersekresi GI Patologis
Ranitidin oral maupun intravena juga digunakan pada kondisi hipersekresi GI patologis (misal pada pasienZolinger Ellison Syndrome (ZES), mastositosis sistemik, hipersekresi pasca reseksi usus. Ranitidin mengurangi sekresi asam lambung yang berkaitan dengan gejala diare, anoreksia dan nyeri dan mempercepat penyembuhan ulkus. Infus intravena ranitidin kontinue hingga 15 hari pada pasien ZES menghasilkan efek pengendalian asam lambung hingga 10 mEq/jam atau lebih rendah. Antasida dapat digunakan bersama untuk mengatassi rasa nyeri. Antimuskarinik seperti propanthelin bromida dan iodida isopropamide juga dapat digunakan bersama guna memperpanjang masa kerja ranitidin.

Pada pasien hipersekresi GI patologis, ranitidin terbukti mampu menyembuhkan ulkus pada 42% pasien yang tidak merespon terapi simetidin. Pasien dengan ZES yang gagal dengan terapi simetidin berhasil diobati dengan ranitidin 600-900 mg perhari selama 1-12 bulan.

Ranitidin IV juga berhasil mengobati hipersekresi pasca operasi pada pasien yang tampaknya resisten terhadap simetidin.

Ulkus Lambung
Terapi Ulkus Lambung Akut
Ranitidin oral digunakan dalam terapi ulkus lambung jinak. Antasida dapat digunakan bersama untuk menghilangkan nyeri. Efektivitas ranitidin dalam hal ini hampir sama dengan simetidin. Ranitidin menyembuhkan ulkus lambung pada 60-70% pasien setelah terapi selama 4 minggu, 70-80% setelah 6 minggu terapi.

Kini epidemiologi dan bukti klinis mendukung bahwa infeksi lambung oleh bakteri Helicobacter pylori (HP) berhubungan dengan patogenesis ulkus lambung. Sehingga dalam kondisi ini direkomendasikan penggunaan antibakteri untuk eradikasi bakterinya.

Terapi Pemeliharaan
Ranitidin dosis rendah digunakan dalam terapi pemeliharaan dan mencegah kekambuhan ulkus lambung. Terapi pemeliharaan ranitidin 150 mg sebelum tidur terbukti efektif mencegah kekambuhan ulkus lambung.

Gastroeshophageal Reflux Desease (GERD)
Dalam terapi GERD dosis yang umum pada dewasa adalah 2x150 mg perhari. Sedangkan dosis terapi GERD pada anak-anak (1 bulan sampai 16 tahun) adalah 5-10 mg/Kg BB perhari dalam dosis terbagi 2. Gejala GERD sering muncul dalam waktu 24 jam setelah dumulainya terapi dengan ranitidin ini. Durasi optimum pengobatan GERD dengan ranitidin belum diketahui.

Esofagitis Erosif
Dosis lazim untuk terapi esofagitis erosif yang terdiagnosa dengan endoskopi pada pasien dewasa adalah 4x150 mg perhari. Sedangkan pada pasien anak 1 bulan sampai 16 tahun dosis yang direkomendasikan adalah 5-10 mg/Kg BB perhari dalam dosis terbagi 2. Sedangkan dalam fase pemeliharaan dosis ranitidin adalah 2x150 mg perhari.

Swamedikasi
Dalam swamedikasi ranitidin digunakan untuk mengatasi atau mencegah gejala mulas, perih akibat gangguan keseimbangan asam lambung pada orang dewasa atau anak diatas 12 tahun, dosis yang dianjurkan adalah 75-150 mg 1-2 kali sehari. Untuk pencegahan mulas akibat konsumsi makanan yang dapat menyebabkan mulas maka ranitidin sebaiknya diminum 30-60 menit sebelum mengkonsumsi makanan atau minuman yang dapat menyebabkan mulas. Untuk keperluan swamedikasi, ranitidin sebaiknya digunakan tidak lebih dari 2 dosis perhari dan tidak lebih dari 2 minggu. Penggunaan ranitidin harus segera dihentikan jika gejala tidak membaik atau bahkan semakin parah.

DOSIS PARENTERAL
Dosis Dewasa
Dosis intravena intermiten atau intramuskular pada dewasa adalah 50 mg setiap 6-8 jam. Jika perlu dosis dapat dapat ditingkatkan dengan meningkatkan frekuensi pemberian, namun tidak boleh melebihi 400 mg perhari. Jika ranitidin diberikan dengan infus intravena lambat maka kecepatannya 6,25 mg/jam selama 24 jam. Sedangkan infus kontinue lambat bagi pasien ZES atau hipersekresi GI patologis umumnya infus dimulai dengan kecepatan 1 mg/Kg BB perjam, dan jika setelah 4 jam infus, pasien masih menunjukan gejala hipersekresi GI, maka dosis harus dititrasi ke atas dengan penambahan sebesar 0,5 mg/Kg BB perjam, dengan konsentrasi asam lambung harus terus dipantau. Dosis maksimum hingga 2,5 mg/Kg BB perjam dan tingkat infus 220 mg/jam.

Dosis Pediatrik
Dosis pada anak usia 1 bulan hingga 16 tahun, untuk pengobatan ulkus duodenum aktif adalah 2-4 mg/Kg perhari dalam dosis terbagi setiap 6-8 jam. Sedangkan penggunaannya pada pasien neonatus (kurang dari 1 bulan) dosis 2 mg/Kg BB intravena setiap 12-24 jam sebagai infus intravena kontinue.

DOSIS PADA PASIEN DENGAN PENURUNAN FUNGSI GINJAL
Pada pasien dengan klirens kreatinin kurang dari 50 mL/menit maka dosis ranitidin yang direkomendasikan adalah 150 mg setiap 24 jam peroral, 50 mg setiap 18-24 jam untuk pemberian parenteral.

PERHATIAN
Ranitidin dapat menimbulkan efek-efek yang kurang menyenangkan diantaranya:
  1. Efek pada sistem syaraf pusat dapat berupa: sakit kepala, rasa tidak enak badan (malaise), pusing, mengantuk, insomnia, vertigo, kebingungan mental, agitasi, depresi mental dan halusinasi terutama pada pasien geriatri lemah. Penggunaan ranitidin dosis tinggi dan dalam jangka panjang pada anak-anak (8 mg/Kg BB perhari selama 10 bulan) dapat menyebabkan perubahan pada pola kesadaran, disartria, hiporefleksia, mengantuk, gejala Babinski, diaforesis, dan bradikardia yang mana gejala-gejala tersebut akan menghilang dengan sendirinya setelah penggunaan ranitidin dihentikan dalam 24 jam.
  2. Efek pada GI: konstipasi, mual, muntah, nyeri dan ketidaknyamanan pada perut, dan pada sebagian kecil pasien dapat mengalami pankreatitis.
  3. Reaksi sensitivitas dan dermatologi: ruam, urtikaria, pruritus, dan urtikaria ditempat penyuntikan. Reaksi hipersensitivitas seperti bronkospasme, demam, ruam, eosinofilia jarang terjadi. Anafilaksis yang ditandai dengan urtikaria berat dan penurunan tekanan darah dalam satu kali pemberian dosis tunggal dapat terjadi namun jarang. Eksaserbasi astma dan angiodema juga dapat terjadi. 
  4. Efek pada Hematologi: dapat terjadi leukopenia, agranulositopenia, trombositopenia, anemia aplastik dan pansitopenia yang disertai hipoplasia sumsum tulang belakang namun jarang. 
  5. Efek pada ginjal dan saluran kemih: peningkatan kreatinin serum tanpa disertai peningkatan BUN dapat terjadi namun jarang. Penurunan libido juga pernah terjadi pada pria yang diterapi dengan ranitidin.
  6. Efek pada hati: dapat terjadi peningkatan konsentrasi aminotransferase serum (AST, SGOT, SGPT, ALT), alkalin fosfatase serum, LDH, bilirubin total, gama-glutamiltranspeptidase. Beberapa kasus juga diketahui bahwa terapi ranitidin dapat menyebabkan hepatitis baik hepatoseluler atau pun hepatokanalikuler dan kolestasis yang umumnya bersifat reversibel. 
  7. Efek pada penglihatan: dapat terjadi kekaburan penglihatan yang bersifat reversibel, eksaserbasi nyeri mata dan kaburnya penglihatan yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intraokuler dan glaukoma kronis, dan buta warna.
  8. Efek pada endokrin: belum ada efek yang diketahui secara pasti sehubungan penggunaan ranitidin pada sistem endokrin. Namun telah diketahui adanya pasien pria yang mengalami impotensi seksual akibat penggunaan ranitidin yang segera sembuh seiring penghentian penggunaan obat, dan impotensi berulang saat penggunaan obat diulang. Nyeri ginekomastia juga dapat terjadi pada pria.
  9. Efek pada sistem kardiovaskuler: aritmia jantung jarang terjadi, bradikardia yang berhubungan dengan dispnea dapat terjadi. 
  10. Efek pada sistem pernafasan: ranitidin dan antagonis reseptor H2 lainnya berpotensi meningkatkan resiko infeksi pneumonia pada komunitas pneumonia.
  11. Efek lain: dapat terjadi arthralgia, myalgia dan porphyria akut. Penggunaan ranitidin harus dihindari pada pasien dengan riwayat porphyria.
PERINGATAN DAN KONTRAINDIKASI
Ranitidin yang digunakan pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal harus digunakan dengan hati-hati dan disertai dengan pengurangan dosis, karena sebagian besar ranitidin diekskresikan melalui ginjal. Demikian pun pada pasien dengan penurunan fungsi hati, karena ranitidin dimetabolisme melalui hati. Penggunaan ranitidin juga harus dihindari pada pasien dengan riwayat porphyria.

Ranitidin tidak boleh digunakan untuk swamedikasi jika pasien mengalami kesulitan menelan dan tidak boleh digunakan dalam kombinasi dengan obat penekan sekresi asam lambung lainnya. Pasien dengan gejala mulas yang menetap lebih dari 3 bulan tidak boleh menggunakan ranitidin untuk swamedikasi. Ranitidin juga tidak boleh digunakan untuk swamedikasi pada pasien dengan keluhan nyeri dada dan atau bahu, sesak nafas, dan rasa nyeri yang menyebar.

Kondisi-kondisi berikut dalam penggunaan ranitidin harus disertai dengan peringatan dan kewaspadaan:
  1. Pada pasien pediatrik; penggunaan ranitidin oral maupun parenteral pada pediatrik ( 1 bulan sampai 16 tahun) untuk indikasi ulkus duodenum dan lambung aktif, GERD dan esofagitis erosif telah diketahui khasiat dan keamanannya. Namun penggunaan ranitidin oral ataupun parenteral untuk kondisi hipersekresi GI patologis dan untuk terapi pemeliharaan dan pencegahan kekambuhan esofagitis erosif pada anak-anak belum diketahui, demikian juga penggunaannya pada neonatus, sehingga penggunaan pada kondisi tersebut harus dengan kewaspadaan penuh.
  2. Pada pasien geriatrik; pada pasien geriatrik (berusia lebih dari 65 tahun keatas) kemungkinan resiko hipersensitivitasnya akan meningkat, disamping itu kemungkinan adanya penurunan fungsi ginjal pada pasien geriatrik akan berpotensi meningkatkan resiko toksisitas.
  3. Mutagenisitas dan karsinogenisitas; tidak ada bukti pengaruh ranitidin terhadap efek mutagenisitas dan karsinogenisitas pada manusia
  4. Pada kehamilan; hingga dosis 160 kali dosis oral biasa, ranitidin belum menunjukan adanya bahaya pada fetus
  5. Pada kesuburan/fertilitas; tidak ada bukti yang menunjukan pengaruh ranitidin pada fertilitas
  6. Pada laktasi (wanita menyusui); ranitidin terdistribusi ke dalam susu, sehingga penggunaan ranitidin pada wanita menyusui harus sangat berhati-hati.
  7. Ranitidin dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitif terhadap ranitidin atau komponen lain dalam formula sediaan obat.
INTERAKSI OBAT
Ranitidin dapat berinteraksi dengan makanan, obat lain maupun parameter klinis.
  1. Makanan dan Antasida. Konsumsi bersama makanan atau antasida dengan ranitidin dapat menyebabkan penurunan absorpsi ranitidin hingga 33% dan konsentrasi puncak dalam serum menurun hingga 613-432 ng/mL. 
  2. Propantelin bromida. Propantelin bromida menghambat penyerapan dan meningkatkan konsentrasi puncak serum ranitidin, melalui mekanisme penghambatan pengosongan lambung dan perpanjangan waktu transit. Bioavalabilitas ranitidin meningkat 23% jika digunakan bersama propantelin bromida.
  3. Merokok. Kebiasaan merokok menghambat penyembuhan ulkus duodenum dan mengurangi khasiat ranitidin. Perbandingan kesembuhan ulkus duodenum pada perokok dan bukan perokok dengan terapi ranitidin adalah 62 dan 100%.
  4. Efek ranitidin pada hati. Ranitidin berinteraksi dengan sistem enzim sitokrom P450 dihati. Ranitidin hanya sedikit menghambat metabolisme hepatik beberapa obat seperti kumarin, antikoagulan, teofilin, diazepam dan propranolol. Ranitidin membentuk ligand-kompleks dengan enzim sitokrom P450 sehingga menghambat aktivitas enzim tersebut. Penggunaan bersama ranitidin dan warfarin dapat menurunkan atau meningkatkan waktu protrombin (PT). Pada dosis ranitidin hingga 400 mg perhari, penggunaan bersamanya dengan warfarin relatif tidak berpengaruh terhadap bersihan warfarin dan atau PT. Namun penggunaan ranitidin lebih dari 400 mg perhari bersama dengan warfarin belum diketahui pengaruhnya. Sedangkan penggunaan bersama ranitidin 2x200 mg dan warfarin 2,5-4,5 mg telah terbukti memperpanjang PT secara signifikan. Pengunaan bersama ranitidin dan teofilin menyebabkan penurunan bersihan plasma teofilin. Pengunaan bersama ranitidin dan diazepam maupun lorazepam relatif tidak saling berinteraksi. Penggunaan bersama 100 mg metoprolol dan ranitin menyebabkan AUC metoprolol meingkat hingga 80% dan rata-rata konsentrasi serum puncak meningkat hingga 50%, dan waktu paruh eliminasi metoprolol meningkat hingga 4,4-6,5 jam. 
  5. Alkohol. Penggunaan bersama alkohol dan ranitidin menyebabkan peningkatan konsentrasi alkohol serum.
  6. Nifedipin. Penggunaan ranitidin bersama nifedipin dapat menyebabkan peningkatan AUC nifedipin hingga 30%.
  7. Vitamin B12. Penggunaan ranitidin dapat mengakibatkan defisiensi vitamin B12 karena malabsorpsi vitamin B12.
TOKSISITAS AKUT
Overdosis ranitidin dapat terjadi pada konsumsi ranitidin hingga 18 gram peroral yang dapat mengakibatkan terjadinya kelainan cara jalan dan hipotensi. Pengobatan overdosis ranitidin dapat dilakukan dengan cara mengeluarkan ranitidin tak terserap dalam saluran cerna, pemantauan klinis, dan terapi suportif. Hemodialisis dapat dilakukan bila perlu.

FARMAKOLOGI
Efek farmakologi ranitidin dapat terjadi melalui beberapa mekanisme.
  1. Efek pada GI. Ranitidin menghambat kompetitif reseptor histamin H2 pada sel parietal menurunkan sekresi asam lambung pada kondisi basal maupun terstimulasi makanan, insulin, asam amino, histamin maupun pentagastrin. 
  2. Efek pada gonad dan endokrin. Ranitidin memberikan sedikit pengaruh pada konsenrasi prolaktin serum. Peningkatan kadar prolaktin serum akan terjadi pada pemberian ranitidin 200 atau 300 mg IV.
  3. Efek lain. Ranitidin dan simetidin dapat menurunkan aliran darah hati. Ranitidin tidak menghambat metabolisme antipirin dihati. Ranitidin meningkatkan reduksi nitrat oleh flora normal GI.
FARMAKOKINETIK
  1. Absorpsi. Ranitidin diabsorpsi dengan baik dari saluran cerna maupun pada pemberian secara intramuskular. Bioavailabilitas absolut ranitidin pada pemberian secara oral adalah sekitar 50%, demikian pula pada anak-anak. Sedangkan pada geriatrik bioavailabilitasnya rata-rata 48%.
  2. Distribusi. Ranitidin terdistribusi secara luas pada cairan tubuh dan sekitar 10-19% berikatan dengan protein serum. Volume distribusi ranitidin rata-rata 1,7 L/Kg dengan kisaran 1,2-1,9 L/Kg. Sedangkan volume distribusi pada anak sekitar 2,3-2,5 L/Kg dengan kisaran 1,1-3,7 L/Kg. Pada pemberian secara oral ranitidin juga terdistribusi ke CSF. Ranitidin juga terdistribusi ke susu.
  3. Eliminasi. Waktu paruh eliminasi rata-rata pada orang dewasa adalah 1,7-3,2 jam, dan dapat berkorelasi positif dengan usia. Waktu paruh eliminasi akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Pada pasien lanjut usia waktu paruh eliminasi umumnya meningkat seiring berkurangnya fungsi ginjal. Ranitidin sebagian besar diekskresikan dalam urin melalui filtrasi glomerular dan sekresi tubular.
  4. Metabolisme. Ranitidin dimetabolisme dihati menjadi ranitidin N-oksida, desmetil ranitidin, dan ranitidin S-oksida. Pada pemberian oral, ranitidin juga mengalami metabolisme lintas pertama dihati. Pada pasien dengan sirosis hati, konsentrasi serum akan meningkat akibat rendahnya metabolisme lintas pertama dihati dan bioavailabilitasnya rata-rata 70%

http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1742494267137009749#editor/src=sidebar